Adopsi IFRS dalam Akuntansi Syariah di Indonesia
Akuntansi syariah adalah alat pertanggungjawaban, yang diwakili
informasi akuntansi syariah dalam bentuk
laporan keuangan yang sesuai dengan syariah yaitu mematuhi prinsip full disclousure. Dimana laporan keuangan akuntansi
syariah tidak lagi berorientasi pada maksimasi laba, akan tetapi membawa pesan modal dalam menerapkan perilaku etis dan
adil terhadap semua pihak. Menurut
Gaffikin dan Triyuwono (1996) akuntansi adalah refleksi dari sebuah realitas yang idealnya dibangun dan dipraktikan
berdasarkan nilai-nilai dan etika. Nilai-nilai dan etika orang Muslim
adalah syariah, maka alternatif terbaik pengembangan akuntansi syariah
adalah menggunakan pemikiran yang sesuai dengan syariah. Untuk memahami pengertian akuntansi syariah, dapat mengacu pada definisi akuntansi syariah yang dikemukakan oleh Hameed (2003) yaitu: Berangkat dari definisi-definisi akuntansi tersebut di atas, akuntansi
syariah dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai berikut: “Akuntansi syariah adalah suatu proses, metode, dan teknik pencatatan, penggolongan, pengikhtisaran transaksi, dan kejadian-kejadian yang bersifat keuangan dalam bentuk satuan uang, guna mengidentifikasi, mengukur, menyampaikan informasi suatu entitas ekonomi yang pengelolaan usahanya berlandaskan syariah, untuk dapat digunakan sebagai bahan mengambil keputusan-keputusan ekonomi dan memilih alternative-alternatif tindakan bagi para pemakainya”. Perkembangan akuntansi sebagai salah satu cabang ilmu sosial telah mengalami pergeseran nilai yang sangat mendasar dituntut mengikuti perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kam (1990:3) mengemukakan bahwa selama ini yang digunakan sebagai dasar konstruksi teori akuntansi lahir dari konteks budaya dan idiologi. Dari paparan di atas menunjukkan bahwa system akuntansi syariah merupakan sistem alternative yang tepat bagi kaum muslimin di Indonesia, namun demikian di dalam implementasinya masih banyak terdapat kalangan yang berpendapat pro dan kontra terhadap implementasi system akuntansi di Indonesia, dengan demikian dapat dirumuskan permasalahan yang terdapat dalam jurnal ini adalah “Mengapa terjadi Pro dan Kontra pada sistem akuntansi berbasis Syariah di Indonesia?
adalah menggunakan pemikiran yang sesuai dengan syariah. Untuk memahami pengertian akuntansi syariah, dapat mengacu pada definisi akuntansi syariah yang dikemukakan oleh Hameed (2003) yaitu: Berangkat dari definisi-definisi akuntansi tersebut di atas, akuntansi
syariah dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai berikut: “Akuntansi syariah adalah suatu proses, metode, dan teknik pencatatan, penggolongan, pengikhtisaran transaksi, dan kejadian-kejadian yang bersifat keuangan dalam bentuk satuan uang, guna mengidentifikasi, mengukur, menyampaikan informasi suatu entitas ekonomi yang pengelolaan usahanya berlandaskan syariah, untuk dapat digunakan sebagai bahan mengambil keputusan-keputusan ekonomi dan memilih alternative-alternatif tindakan bagi para pemakainya”. Perkembangan akuntansi sebagai salah satu cabang ilmu sosial telah mengalami pergeseran nilai yang sangat mendasar dituntut mengikuti perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kam (1990:3) mengemukakan bahwa selama ini yang digunakan sebagai dasar konstruksi teori akuntansi lahir dari konteks budaya dan idiologi. Dari paparan di atas menunjukkan bahwa system akuntansi syariah merupakan sistem alternative yang tepat bagi kaum muslimin di Indonesia, namun demikian di dalam implementasinya masih banyak terdapat kalangan yang berpendapat pro dan kontra terhadap implementasi system akuntansi di Indonesia, dengan demikian dapat dirumuskan permasalahan yang terdapat dalam jurnal ini adalah “Mengapa terjadi Pro dan Kontra pada sistem akuntansi berbasis Syariah di Indonesia?
Permasalahan Penerapan
Sistem Akuntansi Syariah di Indonesia
Kehadiran
ekonomi Islam ini
merupakan suatu langkah
yang digunakan untuk melepaskan diri dari jeratan kapitalisme dan
sosialisme, menurut (Damayanti,2007). Dua sumber utama konsep
ekonomi syariah berporos pada Al Qur’an dan Al Hadist. Ironisnya, kedua hukum
Islam tersebut tidak pernah benar-benar digunakan sebagai landasan dalam
merumuskan konsep epistemologis ekonomi Islam itu sendiri melainkan fiqh yang “sekedar” rasionalisasi kreatif ulama yang dijadikan sebagai
acuan utamanya. Oleh karenanya, ekonomi Islam banyak mengadopsi begitu saja teori-teori
yang ada dalam ekonomi konvensional dengan melakukan penyesuaian atau dipaksakan dengan melakukan sedikit penyesuaian atau
dipaksakan agar sesuai dengan ayat
atau hadis tertentu. Jika memang ada ayat atau hadis yang dijadikan sebagai
suatu landasan syariah bagi
suatu model transaksi
ekonomi syariah, pengaturan
yang berbasis
sistematis dan kritis yang memenuhi prinsip-prinsip interpretasi yang valid tidak dilakukan terlebih dahulu. Dampak nyatanya adalah, bahwa penerapan ekonomi yang disebut syariah merupakan suatu kumpulan teori ekonomi konvensional yang disajikan seolah-olah berdalil al-Qur’an dan as-Sunnah.
sistematis dan kritis yang memenuhi prinsip-prinsip interpretasi yang valid tidak dilakukan terlebih dahulu. Dampak nyatanya adalah, bahwa penerapan ekonomi yang disebut syariah merupakan suatu kumpulan teori ekonomi konvensional yang disajikan seolah-olah berdalil al-Qur’an dan as-Sunnah.
Faktanya,
aspek-aspek akuntansi konvensional
tidak dapat diterapkan
pada lembaga yang menggunakan
prinsip-prinsip Islam baik
dari implikasi akuntansi
maupun akibat ekonomi, menurut Muhammad
(2004). Dalam pendapatnya Gambling dan Karim (1991 dalam IAI, 2008)
juga berargumen bahwa dalam perspektif Islam konsep income ekonomi tidak bias diterapkan karena hal-hal yang tak bisa diterima itu begitu fundamental bagi teori deduktif Barat. Apabila diambil suatu contoh seperti model tingkat ekonomi pengembalian modal (economic rate of return on capital) yang membentuk basis bagi kalkulasi pendapatan di muka
dengan asumsi bahwa uang punya nilai waktu (Time value for money), diutarakan oleh Gambling dan Karim (1986) dalam pendapatnya sebagai hal yang sangat tidak diperkenankan dalam agama Islam baik dengan alasan apapun. Mengacu pada pendapat ini, bagian dari teori akunting deduktif
banyak terpengaruh pada teori ekonomi konvensional sangatlah tidak patut diterapkan sebagai landasan pemikiran untuk menciptakan teori landasan akuntansi Syariah menurut Islam. Adanya penerapkan pendekatan yang mengkomparasikan sasaran-sasaran yang ada dalam akuntansi
kontemporer dan akuntansi syariah, apabila tidak sejalan tinggalkan tertuang dalam Majalah Akuntan Indonesia (2008) menurut AAOIFI (Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial). Lembaga ini berpendapat bahwa cara itu konsisten dengan prinsip-prinsip Islam lebih
luas bahwa suatu pandangan tak selalu memerlukan konsep yang mesti diambil dari Syariah. Dengan demikian, konsep informasi akuntansi berguna, seperti relevansi dan reliabilitas, bisa begitu saja dimasukkan dalam praktek akuntansi Islami oleh AAOIFI. Alternatif pendekatan
yang dilakukan AAOIFI ini mungkin bisa digunakan sebagai kunci dalam menghadapi masalah yang terjadi dalam penerapan Akuntansi Syariah di Indonesia, namun fakta yang terjadi sangatlah kompleks permasalahan yang terjadi untuk dapat menyatukan dua hal yang berbeda dengan kerangka konseptual dan landasan yang bertentangan. Untuk itu, dalam menghadapi permasalahan ini perlu dibuatnya standar akuntansi yang berbeda untuk akuntansi syariah berbasis Islam. Belum juga masalah ini terselesaikan, akuntansi syariah juga dihadapkan dengan permasalahan kompleks seputar konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) pada standar akuntansi Indonesia.
juga berargumen bahwa dalam perspektif Islam konsep income ekonomi tidak bias diterapkan karena hal-hal yang tak bisa diterima itu begitu fundamental bagi teori deduktif Barat. Apabila diambil suatu contoh seperti model tingkat ekonomi pengembalian modal (economic rate of return on capital) yang membentuk basis bagi kalkulasi pendapatan di muka
dengan asumsi bahwa uang punya nilai waktu (Time value for money), diutarakan oleh Gambling dan Karim (1986) dalam pendapatnya sebagai hal yang sangat tidak diperkenankan dalam agama Islam baik dengan alasan apapun. Mengacu pada pendapat ini, bagian dari teori akunting deduktif
banyak terpengaruh pada teori ekonomi konvensional sangatlah tidak patut diterapkan sebagai landasan pemikiran untuk menciptakan teori landasan akuntansi Syariah menurut Islam. Adanya penerapkan pendekatan yang mengkomparasikan sasaran-sasaran yang ada dalam akuntansi
kontemporer dan akuntansi syariah, apabila tidak sejalan tinggalkan tertuang dalam Majalah Akuntan Indonesia (2008) menurut AAOIFI (Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial). Lembaga ini berpendapat bahwa cara itu konsisten dengan prinsip-prinsip Islam lebih
luas bahwa suatu pandangan tak selalu memerlukan konsep yang mesti diambil dari Syariah. Dengan demikian, konsep informasi akuntansi berguna, seperti relevansi dan reliabilitas, bisa begitu saja dimasukkan dalam praktek akuntansi Islami oleh AAOIFI. Alternatif pendekatan
yang dilakukan AAOIFI ini mungkin bisa digunakan sebagai kunci dalam menghadapi masalah yang terjadi dalam penerapan Akuntansi Syariah di Indonesia, namun fakta yang terjadi sangatlah kompleks permasalahan yang terjadi untuk dapat menyatukan dua hal yang berbeda dengan kerangka konseptual dan landasan yang bertentangan. Untuk itu, dalam menghadapi permasalahan ini perlu dibuatnya standar akuntansi yang berbeda untuk akuntansi syariah berbasis Islam. Belum juga masalah ini terselesaikan, akuntansi syariah juga dihadapkan dengan permasalahan kompleks seputar konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) pada standar akuntansi Indonesia.
PEMBAHASAN
Terkait adanya adopsi IFRS, beberapa hal yang
mencakup isu-isu standarisasi antara lain: AOSG (2010) telah
merinci isu-isu penting terkait dalam kaitannya dengan konvergensi IFRS, isu-isu penting tersebut dikelompokkan
berdasarkan empat cakupan topik yaitu substansi mengungguli
bentuk, ukuran probabilitas, time value of money, isu-isu yang lain.
Isu-isu penting tersebut akan dipaparkan berdasarkan cakupan pengertiannya,
seperti yang ada di bawah ini.
(1)
Substansi Mengungguli Bentuk merupakan suatu prinsip akuntansi yang disajikan
secara wajar dalam suatu transaksi atau peristiwa lain
sehingga memerlukan pencatatan agar dapat disajikan sesuai
dengan substansi dan realita ekonomi. Isu yang muncul kemudian adalah ketika
pembuat standar konvensional menganggap substansi mengungguli bentuk
terpisahkan dengan pelaporan keuangan, ada
keraguan tentang penerimaan dari perspektif Islam. Beberapa percaya bahwa substansi
mengungguli bentuk akan membuat suatu transaksi keuangan syariah hampir tidak
bisa dibedakan dan dibandingkan dengan akuntansi konvensional.
(2) Ukuran Probabilitas (Probability Criterion)
“Konsep
probabilitas digunakan untuk
merujuk pada tingkat
ketidakpastian bahwa manfaat ekonomi masa depan berhubungan
dengan item tersebut akan mengalir ke atau dari entitas.” (Ayat 4, 40).
IFRS mengakui biaya-biaya tertentu ketika kemungkinan bahwa manfaat ekonomi masa depan dapat
dipastikan. Misalnya, mengarahkan
penurunan nilai (impairment) diakui ketika
penurunan tersebut diharapkan terjadi. Masalah yang muncul di sini adalah
apakah ada larangan syariah terhadap pengakuan aset-aset kewajiban, pendapatan,
dan biaya didasarkan pada ketika kemungkinan
tersebut terjadi?
(3) Time Value of Money
Konsep
time value of money telah diklaim oleh
sebagian besar ahli
Islam sebagai suatu
yang diharamkan karena
adanya unsur riba didalamnya. Konsep time value of money
merupakan kembangan dari teori-teori bunga yang ada (theory of interest),
dari berbagai panadangan para ekonomi kapitalis sepanjang masa. Dalam classical theory of interest tokoh yang sangat
terkenal adalah Smith dan Ricardo, mereka berpendapat bahwa bunga merupakan kompensasi yang
dibayarkan oleh peminjam (borrower) kepada
si pemberi pinjaman (lender) sebagai balas jasa atas keuntungan yang diperoleh
dari uang yang dipinjamkan. Konsep
nilai waktu uang banyak digunakan oleh IASB, salah satunya adalah, penerapan pada IAS 39, adanya biaya amortisasi
pada aktiva tertentu dan kewajiban tertentu.
“Pinjaman dan piutang … harus diukur dengan biaya diamortisasi dengan
menggunakan metode efektif bunga.”
(IAS 39, Par. 46 dalam PWC, 2011). Permasalahan yang terjadi adalah apakah seharusnya kita mencerminkan nilai waktu
dari uang dalam pelaporan transaksi keuangan syariah, apabila tidak ada bunga yang jelas untuk dibebankan atau
dikeluarkan dalam transaksi tersebut?.
Pertanyaan ini untuk beberapa orang memiliki dampak yang tidak menyenangkan karena pengaturan ini dibuat untuk menghindari
pengisian bunga akan mengakibatkan pelaporan pendapatan pembiayaan
dengan sengaja (AOSSG, 2010). Misalnya yang terjadi pada kontrak penjualan tangguhan. Sebuah kontrak penjualan di
mana pembayaran ditangguhkan untuk jangka waktu tertentu. Berdasarkan IAS 18
(dalam AOSSG, 2010) jika nilai wajar aktiva yang ditransfer kurang
dari kas yang
akan diterima, maka
perbedaan tersebut dicatat
sebagai pendapatan pembiayaan. Namun dalam akuntansi syariah justru
mengabaikan pendekatan nilai waktu uang sehingga jumlah seluruh kas yang diterima atau tidak diterima akan
dicatat sebagai pendapatan penjualan.
Selain itu, kelebihan kas yang diterima atas nilai wajar akan dipertimbangkan
untuk ditransfer dan akan dicatat sebagai pendapatan penjualan, bukan
pembiayaan pendapatan.
(4) Isu-isu yang lain. Berikut
isu-isu lain yang juga dirinci oleh AOSSG dalam research paper-nya di tahun 2010. Syirkah, menurut bahasa, adalah
ikhthilath (berbaur). Adaupun menurut istilah syirkah (kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau
lebih yang didorong oleh kesadaran untuk
meraih keuntungan. Masalah
yang sering dipertanyakan, dalam
transaksi Syirkah adalah apakah
jumlah yang diterima
atau dipegang oleh
suatu badan di
bawah pengaturan
Syirkah harus mewakili kepentingan kepemilikan di entitas itu. Adanya IFRS 9 menimbulkan
suatu diskusi tentang apakah aset keuangan berdasarkan Syirkah akan diukur pada
biaya diamortisasi atau nilai wajar.
Ayat 4.2 menyatakan bahwa sebuah aset keuangan harus diukur pada biaya diamortisasi jika kedua kondisi
terpenuhi yaitu aset tersebut diadakan dalam model bisnis yang bertujuan untuk memegang aset dalam rangka untuk
mengumpulkan arus kas
kontraktual dan istilah kontrak dari aset keuangan menimbulkan pada tanggal tertentu untuk arus kas yang semata-mata pembayaran pokok dan bunga atas nilai pokok yang beredar. Sebuah aset keuangan harus diukur pada nilai wajar kecuali diukur pada biaya diamortisasi jika kedua kondisi terpenuhi yaitu asset tersebut diadakan dalam model bisnis yang bertujuan untuk memegang asset dalam rangka untuk mengumpulkan arus kas kontraktual dan istilah kontrak dari asset keuangan menimbulkan pada tanggal tertentu untuk arus kas yang semata-mata pembayaran pokok dan bunga atas nilai pokok yang beredar hal ini sesuai dengan ayat 4.2. Pengaturan Syirkah diberikan kewenangan sepenuhnya kepada investor terkait profit yang ada pada suatu perusahaan. Sehingga, aset-aset ini mungkin perlu diukur pada nilai wajar karena arus kas mungkin tidak mewakili ‘semata-mata pembayaran pokok dan bunga. Akan tetapi, dalam peraturan Syirkah telah ditetapkan suatu indikasi yang merujuk pada investor terkait peraturan pengembalian, tingkat pengembalian aktual yang dibayarkan kepada investor akan hampir selalu erat sesuai dengan tingkat indikasi ini, mencakup keuntungan yang dihasilkan oleh investee. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan untuk mengukur aktiva dengan biaya diamortisasi karena arus kas dapat dikatakan mirip ‘pembayaran pokok dan bunga’, dan sesuai dengan ayat 10 (b) (ii) FRS 108 dibutuhkan refleksi dari substansi ekonomi dan bukan hanya bentuk hukum.
kontraktual dan istilah kontrak dari aset keuangan menimbulkan pada tanggal tertentu untuk arus kas yang semata-mata pembayaran pokok dan bunga atas nilai pokok yang beredar. Sebuah aset keuangan harus diukur pada nilai wajar kecuali diukur pada biaya diamortisasi jika kedua kondisi terpenuhi yaitu asset tersebut diadakan dalam model bisnis yang bertujuan untuk memegang asset dalam rangka untuk mengumpulkan arus kas kontraktual dan istilah kontrak dari asset keuangan menimbulkan pada tanggal tertentu untuk arus kas yang semata-mata pembayaran pokok dan bunga atas nilai pokok yang beredar hal ini sesuai dengan ayat 4.2. Pengaturan Syirkah diberikan kewenangan sepenuhnya kepada investor terkait profit yang ada pada suatu perusahaan. Sehingga, aset-aset ini mungkin perlu diukur pada nilai wajar karena arus kas mungkin tidak mewakili ‘semata-mata pembayaran pokok dan bunga. Akan tetapi, dalam peraturan Syirkah telah ditetapkan suatu indikasi yang merujuk pada investor terkait peraturan pengembalian, tingkat pengembalian aktual yang dibayarkan kepada investor akan hampir selalu erat sesuai dengan tingkat indikasi ini, mencakup keuntungan yang dihasilkan oleh investee. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan untuk mengukur aktiva dengan biaya diamortisasi karena arus kas dapat dikatakan mirip ‘pembayaran pokok dan bunga’, dan sesuai dengan ayat 10 (b) (ii) FRS 108 dibutuhkan refleksi dari substansi ekonomi dan bukan hanya bentuk hukum.
(i) Special
Purpose
Entity
(SPE) adalah suatu entitas yang dibentuk oleh perusahaan untuk suatu tujuan tertentu, misalnya untuk membagi atau
menghilangkan resiko finansial.
(ii) Sukuk Penilaian
memiliki definisi sertifikat yang bernilai sama dengan bagian atau seluruh dari
kepemilikan harta yang berwujud untuk mendapatkan hasil dan jasa didalam kepemilikan asset dan proyek tertentu atau
aktivitas investasi khusus, sertifikat ini berlaku setelah menerima nilai
sukuk, saat jatuh tempo dengan menerima dana sepenuhnya sesuai dengan tujuan sukuk tersebut. Perdagangan
sukuk mendapat suatu kontra baik karena sifat mereka (seperti Bank Sentral, Bahrain sukuk
al-salam), karena kebanyakan produk
syariah khususnya sukuk bersifat “debt-based” atau “debt-likely”.
Padahal idealnya keuangan syariah adalah “profit-loss sharing”, ini terlihat
dari komposisi tingkat kupon sukuk yang dibayarkan masih mendasarkan pada tingkat
suku bunga tertentu.
Sehingga tidak mengherankan jika
AAOIFI memberikan penilaian bahwa sekitar 85% sukuk belum sesuai dengan
syariah. Biaya yang diamortisasi telah diterapkan oleh sukuk yang
terlebih dahulu, sejauh ini sesuai dengan peraturan IAS 39, di mana sukuk tidak diperdagangkan
mungkin bisa dikategorikan sebagai ‘pinjaman dan piutang’ baik atau sebagai
‘dimiliki hingga jatuh tempo investasi ‘, dan diukur setelah pengakuan awal pada biaya diamortisasi. Kenyataannya, IFRS 9
sendiri mengabaikan manajemen untuk
instrumen individu, dan bukannya berfokus pada model bisnis suatu entitas untuk mengelola aset keuangan. Aset finansial untuk kemudian
diukur pada biaya diamortisasi jika aset tersebut
diadakan dalam model bisnis yang bertujuan untuk memegang aset dalam rangka untuk
mengumpulkan arus kas
kontraktual dan istilah
kontrak dari aset
keuangan menimbulkan pada tanggal
tertentu untuk arus kas yang semata-mata pembayaran pokok dan bunga atas nilai pokok yang beredar,hal ini
terdapat pada ayat 4.2 IFRS 9.
(iii) Derivatif Tertanam, merupakan
salah satu karakteristik
sifat perbankan yang
merupakan spekulasi
(untung-untungan) terhadap perubahan nilai pasar. Transaksi derivatif dapat
berfungsi sebagai sarana mencari atau memberikan informasi tentang harga barang
komoditi tertentu di kemudian hari (price discovery).
Pernyataan ini menyebabkan
keputusan syariah bahwa
harga harus diketahui pada
saat kontrak untuk
menghilangkan gharar atau
ketidakpastian; yang sering
diartikan bahwa harga harus ditinjau ulang (diperbaiki). Dampaknya adalah, bahwa lembaga keuangan Islam menghadapi risiko ketimpangan pendanaan saat pemberian jangka panjang suku bunga tetap pembiayaan didanai oleh deposito jangka pendek variabel tingkat. Pelanggan yang
sebelumnya menyesuaikan untuk tingkat yang lebih tinggi akan dirugikan pada saat harga pasar jatuh. Oleh karena itu dalam meningkatkan manajemen likuiditas dan mengatasi keluhan pelanggan, pembiayaan tingkat variabel telah dikembangkan berdasarkan beberapa konsep-
konsep Islam. Beberapa orang berkomentar bahwa tingkat keuntungan ini akan tutup pada variabel- yang menilai struktur mungkin derivatif tertanam karena adanya pengaruh di bawah IAS 39, ayat 10 (dan IFRS 9 ayat 4.6) yang mengatakan bahwa sebuah derivatif tertanam menyebabkan beberapa atau semua dari arus kas yang seharusnya dapat diperlukan oleh kontrak untuk dimodifikasi sesuai dengan tingkat bunga tertentu, instrumen keuangan harga, harga komoditas, nilai tukar asing, indeks harga atau tarif, rating kredit atau kredit indeks, atau variabel lain. IAS 39 selanjutnya membutuhkan bahwa derivatif tertanam dipisahkan dari kontrak utamanya jika memenuhi kriteria dalam paragraf 11-13. IFRS 9 ayat 4.7 tidak memerlukan derivatif tertanam untuk dipisahkan dari dalam lingkup standar, adalah mungkin bahwa mungkin ada kontrak Islam di luar lingkup IFRS misalnya, dalam beberapa kontrak berdasarkan kemitraan seperti beberapa bentuk musharakah berkurang. Berdasarkan ayat 4,8 IFRS 9, entitas perlu untuk menerapkan IAS 39 paragraf 11-13.
diartikan bahwa harga harus ditinjau ulang (diperbaiki). Dampaknya adalah, bahwa lembaga keuangan Islam menghadapi risiko ketimpangan pendanaan saat pemberian jangka panjang suku bunga tetap pembiayaan didanai oleh deposito jangka pendek variabel tingkat. Pelanggan yang
sebelumnya menyesuaikan untuk tingkat yang lebih tinggi akan dirugikan pada saat harga pasar jatuh. Oleh karena itu dalam meningkatkan manajemen likuiditas dan mengatasi keluhan pelanggan, pembiayaan tingkat variabel telah dikembangkan berdasarkan beberapa konsep-
konsep Islam. Beberapa orang berkomentar bahwa tingkat keuntungan ini akan tutup pada variabel- yang menilai struktur mungkin derivatif tertanam karena adanya pengaruh di bawah IAS 39, ayat 10 (dan IFRS 9 ayat 4.6) yang mengatakan bahwa sebuah derivatif tertanam menyebabkan beberapa atau semua dari arus kas yang seharusnya dapat diperlukan oleh kontrak untuk dimodifikasi sesuai dengan tingkat bunga tertentu, instrumen keuangan harga, harga komoditas, nilai tukar asing, indeks harga atau tarif, rating kredit atau kredit indeks, atau variabel lain. IAS 39 selanjutnya membutuhkan bahwa derivatif tertanam dipisahkan dari kontrak utamanya jika memenuhi kriteria dalam paragraf 11-13. IFRS 9 ayat 4.7 tidak memerlukan derivatif tertanam untuk dipisahkan dari dalam lingkup standar, adalah mungkin bahwa mungkin ada kontrak Islam di luar lingkup IFRS misalnya, dalam beberapa kontrak berdasarkan kemitraan seperti beberapa bentuk musharakah berkurang. Berdasarkan ayat 4,8 IFRS 9, entitas perlu untuk menerapkan IAS 39 paragraf 11-13.
KESIMPULAN
Prinsip dasar
paradigma yaitu
mencakup keseluruhan dimensi wilayah mikro dan makro dalam kehidupan manusia
yang saling terkait. Pertama dimensi mikro prinsip dasar paradigm syariah
adalah individu
yang beriman kepada Allah SWT (tauhid) serta mentaati segala aturan dan
larangan yang tertuang dalam Al-Qur’an, Al
Hadits, Fiqh, dan hasil itjihad. Kedua, dimensi makro prinsip syariah adalah
meliputi wilayah politik, ekonomi dan sosial. Dalam dimensi politik, menjunjung
tinggi musyawarah dan kerjasama.
Sedangkan dalam dimensi ekonomi, melakukan usaha halal, mematuhi
larangan bunga, dan memenuhi kewajiban zakat. Selanjutnya dalam dimensi sosial yaitu mengutamakan kepentingan umum dan amanah.
Ikatan Akuntan Indonesia pun sejauh ini telah menerbitkan enam standar terkait dengan Akuntansi Syariah, yaitu
PSAK 101 (penyajian dan pengungkapan
laporan keuangan entitas syariah), PSAK 102
(murabahah), PSAK 103 (salam), PSAK 104 (istishna), PSAK 105
(mudharabah), dan PSAK 106 (musyarakah). Namun, adanya standar-standar Akuntansi Syariah masih belum juga dapat membuat
pihak-pihak yang berkepentingan merasa cukup terselesaikan
permasalahannya. Banyak kebimbangan
dan ketakutan yang
masih membayangi pengngaplikasian akuntansi
syariah berbasis Islam
ini. Belum juga masalah ini terselesaikan,
akuntansi syariah juga dihadapkan dengan permasalahan kompleks seputar adopsi International
Financial Reporting Standards (IFRS) pada standar akuntansi Indonesia.
IFRS yang merupakan standar internasional
yang mengacu pada akuntansi konvensional nampaknya ada beberapa bagian yang
tidak cocok dengan prinsip akuntansi syariah
ini. Akuntansi syariah adalah ilmu dan teknologi universal yang tumbuh
dan berkembang sesuai dengan perubahan yang
terjadi di dalam lingkungannya, baik sosial, ekonomi, politik, peraturan
perundangan, kultur, persepsi
dan nilai (masyarakat) tempat akuntansi
syariah diterapkan. Akuntansi syariah adalah akuntansi yang dikembangkan
bukan hanya dengan cara “tambal sulam”
terhadap akuntansi konvensional,
akan tetapi, merupakan
pengembangan filosofis terhadap nilai-nilai al-Qur’an yang
diturunkan ke dalam pemikiran teoritis dan teknis akuntansi. Berdasarkan hasil
tersebut maka bisa dikatakan bahwa konvergensi IFRS terhadap standar akuntansi syariah yang dilakukan di
Indonesia tidak bisa sempurna seratus persen. AAOIFI dalam
formulasinya menyatakan bahwa
ketika IFRS tidak
bisa diadopsi secara keseluruhan
oleh IFI, ketika IASB tidak memiliki IFRS untuk menutupi praktek perbankan syariah dan praktek keuangan syariah, dan ketika
IFRS dapat diadopsi maka AAOIFI tidak akan mengembangkan standar atau
berkembang dan mengadopsi IFRS. Menurut Khairul Nizam, direktur
pengembangan teknis di
AAOIFI (dalam Ibrahim, 2009) bahwa
kesenjangan dan perbedaan akan
terus ada di antara set kedua standar, karena kesenjangan dan perbedaan adalah
hasil alami dari struktural tujuan yang berbeda dari IASB dan AAOIFI. IAI
sendiri dalam
hal ini juga mengacu pada AAOIFI dalam menanggapi permasalahan konvergensi IFRS ini. IFRS yang ada tidak bisa dipaksakan untuk akuntansi syariah yang memiliki prinsip yang berbeda.
hal ini juga mengacu pada AAOIFI dalam menanggapi permasalahan konvergensi IFRS ini. IFRS yang ada tidak bisa dipaksakan untuk akuntansi syariah yang memiliki prinsip yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
AOSSG, 2010, Research Paper: ‘Financial Reporting Issues Relating to Islamic
Financing’. http://www.aossg.org [Diakses 4 November 2014].
Baydoun dan Willet, 2000. ‘Islamic Corporate
Report’.Abacus Vol.36.No.1.
Chapra, Umer. 2001. The Future of Economics: An
Islamic Perspective. SEBI. Jakarta.
Gambling, TE dan Karim Rifaat AA, 1986, Journal of
Business Accounting, Vol.13 (1)
Ibrahim, Mohamed Shanul Hameed. 2009. IFRS
vs AAOIFI: ‘The Clash of Standards?’,Karya Ilmiah tidak dipublikasikan.
Munich Personal RePEc Archive (MPRA) Paper No.12539.
Ikatan Akuntansi Indonesia. 2006. Exposure
Draft Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan
Syariah. IAI. Jakarta.
Isu-isu
Standarisasi dalam Akuntansi
Syariah Terkait Konvergensi
International Financial Reporting
Standards (IFRS) di Indonesia melalui: http://www.nenygory.htm.[
diakses 5 November 2014]
Muhammad. 2004. Teori
Penilaian dalam Akuntansi Syari’ah. IQTISAD Journal of Islamic Economics Vol.3, No.1.
Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2009. Akuntansi Syariah di
Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Razik,
Amged Abd El. 2007. Challenges of International Financial Reporting Standards
(IFRS) in the Islamic Acounting
World, Case of
Middle Eastern Countries.
Scientific Bulletin Economic
Sciences. Vol. 8 (14).
Zaid, Omar Abdullah. 2004. Akuntansi Syariah:
Kerangka Dasar dan Sejarah Keuangan Dalam Masyarakat Islam (terj. Syafe’I Antonio dan
Harahap), LPFE: Jakarta.
0 comments:
Posting Komentar