17 Apr 2016

Adopsi IFRS dalam Akuntansi Syariah di Indonesia

Adopsi IFRS dalam Akuntansi Syariah di Indonesia

Akuntansi syariah adalah alat pertanggungjawaban, yang diwakili informasi akuntansi syariah dalam bentuk laporan keuangan yang sesuai dengan syariah yaitu mematuhi prinsip full disclousure. Dimana laporan keuangan akuntansi syariah tidak lagi berorientasi pada maksimasi laba, akan tetapi membawa pesan modal dalam menerapkan perilaku etis dan adil terhadap semua pihak. Menurut Gaffikin dan Triyuwono (1996) akuntansi adalah refleksi dari sebuah realitas yang idealnya dibangun dan dipraktikan berdasarkan nilai-nilai dan etika. Nilai-nilai dan etika orang Muslim adalah syariah, maka alternatif terbaik pengembangan akuntansi syariah
adalah  menggunakan  pemikiran  yang  sesuai  dengan  syariah.  Untuk  memahami pengertian akuntansi  syariah,  dapat  mengacu  pada  definisi  akuntansi  syariah  yang  dikemukakan  oleh Hameed  (2003)  yaitu:  Berangkat dari definisi-definisi akuntansi tersebut di atas, akuntansi
syariah dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai berikut: “Akuntansi syariah adalah suatu proses, metode, dan teknik pencatatan, penggolongan, pengikhtisaran transaksi, dan kejadian-kejadian yang bersifat keuangan dalam bentuk satuan uang, guna mengidentifikasi, mengukur, menyampaikan  informasi  suatu  entitas  ekonomi  yang  pengelolaan  usahanya  berlandaskan syariah, untuk dapat digunakan sebagai bahan mengambil keputusan-keputusan ekonomi dan memilih alternative-alternatif tindakan bagi para pemakainya”. Perkembangan akuntansi sebagai salah satu cabang ilmu sosial telah mengalami pergeseran nilai yang sangat mendasar dituntut mengikuti perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kam (1990:3) mengemukakan bahwa selama ini yang digunakan sebagai dasar konstruksi teori akuntansi lahir dari konteks budaya dan idiologi. Dari paparan di atas menunjukkan bahwa system akuntansi syariah merupakan sistem alternative  yang  tepat  bagi  kaum  muslimin  di  Indonesia,  namun  demikian  di  dalam implementasinya masih banyak terdapat kalangan yang berpendapat pro dan kontra terhadap implementasi system akuntansi di Indonesia, dengan demikian dapat dirumuskan permasalahan yang terdapat dalam jurnal ini adalah “Mengapa terjadi Pro dan Kontra pada sistem akuntansi berbasis Syariah di Indonesia?
Permasalahan Penerapan Sistem Akuntansi Syariah di Indonesia
Kehadiran  ekonomi  Islam  ini  merupakan  suatu  langkah  yang  digunakan  untuk melepaskan diri dari jeratan kapitalisme dan sosialisme, menurut (Damayanti,2007). Dua sumber utama konsep ekonomi syariah berporos pada Al Qur’an dan Al Hadist. Ironisnya, kedua hukum Islam tersebut tidak pernah benar-benar digunakan sebagai landasan dalam merumuskan konsep epistemologis ekonomi Islam itu sendiri melainkan fiqh yang  “sekedar” rasionalisasi kreatif ulama  yang  dijadikan  sebagai  acuan  utamanya.  Oleh karenanya, ekonomi Islam  banyak mengadopsi begitu saja teori-teori yang ada dalam ekonomi konvensional dengan melakukan penyesuaian atau dipaksakan dengan melakukan sedikit penyesuaian atau dipaksakan agar sesuai dengan ayat atau hadis tertentu. Jika memang ada ayat atau hadis yang dijadikan sebagai suatu landasan  syariah  bagi  suatu  model  transaksi  ekonomi  syariah,  pengaturan  yang  berbasis
sistematis dan kritis yang memenuhi prinsip-prinsip interpretasi yang valid tidak dilakukan terlebih dahulu. Dampak nyatanya adalah, bahwa penerapan ekonomi yang disebut syariah merupakan suatu kumpulan teori ekonomi konvensional yang disajikan seolah-olah berdalil al-Qur’an dan as-Sunnah. 
Faktanya,  aspek-aspek  akuntansi  konvensional  tidak  dapat  diterapkan  pada  lembaga  yang menggunakan  prinsip-prinsip  Islam  baik  dari  implikasi  akuntansi  maupun  akibat  ekonomi, menurut Muhammad (2004). Dalam pendapatnya Gambling dan Karim (1991 dalam IAI, 2008)
juga berargumen bahwa dalam perspektif Islam konsep income ekonomi tidak bias diterapkan karena hal-hal yang tak bisa diterima itu begitu fundamental bagi teori deduktif  Barat.  Apabila  diambil  suatu  contoh  seperti model  tingkat  ekonomi  pengembalian  modal (economic rate of return on capital) yang membentuk basis bagi kalkulasi pendapatan di muka
dengan asumsi bahwa uang punya nilai waktu (Time value for money), diutarakan oleh Gambling dan Karim (1986) dalam pendapatnya sebagai hal yang sangat tidak diperkenankan dalam agama Islam baik dengan alasan apapun. Mengacu pada pendapat ini, bagian dari teori akunting deduktif
banyak terpengaruh pada teori ekonomi konvensional sangatlah tidak patut diterapkan sebagai landasan pemikiran untuk menciptakan teori landasan akuntansi Syariah menurut Islam. Adanya penerapkan pendekatan yang mengkomparasikan sasaran-sasaran yang ada dalam akuntansi
kontemporer dan akuntansi syariah, apabila tidak sejalan tinggalkan tertuang dalam Majalah Akuntan Indonesia (2008) menurut AAOIFI (Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial). Lembaga ini berpendapat bahwa cara itu konsisten dengan prinsip-prinsip Islam lebih
luas bahwa suatu pandangan tak selalu memerlukan konsep yang mesti diambil dari Syariah. Dengan demikian, konsep informasi akuntansi berguna, seperti relevansi dan reliabilitas, bisa begitu saja dimasukkan dalam praktek akuntansi Islami oleh AAOIFI. Alternatif pendekatan
yang dilakukan AAOIFI ini mungkin bisa digunakan sebagai kunci dalam menghadapi masalah yang  terjadi  dalam  penerapan  Akuntansi  Syariah  di  Indonesia,  namun  fakta  yang  terjadi sangatlah kompleks permasalahan yang terjadi untuk dapat menyatukan dua hal yang berbeda dengan kerangka konseptual dan landasan yang bertentangan. Untuk itu, dalam menghadapi permasalahan  ini  perlu  dibuatnya  standar  akuntansi  yang  berbeda  untuk  akuntansi  syariah berbasis Islam. Belum juga masalah ini terselesaikan, akuntansi syariah juga dihadapkan dengan  permasalahan  kompleks  seputar  konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) pada standar akuntansi Indonesia.
PEMBAHASAN
Terkait adanya adopsi IFRS, beberapa hal yang mencakup isu-isu standarisasi antara lain: AOSG (2010) telah merinci isu-isu penting terkait dalam kaitannya dengan konvergensi IFRS,   isu-isu penting tersebut dikelompokkan berdasarkan empat cakupan topik yaitu substansi mengungguli bentuk, ukuran probabilitas, time value of money, isu-isu yang lain. Isu-isu penting tersebut akan dipaparkan berdasarkan cakupan pengertiannya, seperti yang ada di bawah ini.
 (1) Substansi Mengungguli Bentuk merupakan suatu prinsip akuntansi yang disajikan secara wajar dalam suatu transaksi atau peristiwa lain sehingga memerlukan pencatatan agar dapat disajikan sesuai dengan substansi dan realita ekonomi. Isu yang muncul kemudian adalah ketika pembuat standar konvensional menganggap substansi mengungguli bentuk terpisahkan dengan pelaporan keuangan, ada keraguan tentang penerimaan dari perspektif Islam. Beberapa percaya bahwa substansi mengungguli bentuk akan membuat suatu transaksi keuangan syariah hampir tidak bisa dibedakan dan dibandingkan dengan akuntansi konvensional.
 (2) Ukuran Probabilitas (Probability Criterion)
 “Konsep probabilitas digunakan untuk  merujuk  pada  tingkat  ketidakpastian bahwa manfaat ekonomi masa depan berhubungan dengan item tersebut akan mengalir ke atau dari entitas.”    (Ayat 4, 40). IFRS mengakui biaya-biaya tertentu ketika kemungkinan bahwa manfaat ekonomi  masa depan  dapat  dipastikan.  Misalnya, mengarahkan penurunan nilai (impairment) diakui ketika penurunan tersebut diharapkan terjadi. Masalah yang muncul di sini adalah apakah ada larangan syariah terhadap pengakuan aset-aset kewajiban, pendapatan, dan biaya didasarkan pada ketika kemungkinan tersebut terjadi?
 (3) Time Value of Money
 Konsep time value of money telah diklaim oleh  sebagian  besar  ahli  Islam  sebagai  suatu  yang  diharamkan  karena  adanya  unsur  riba didalamnya. Konsep time value of money merupakan kembangan dari teori-teori bunga yang ada (theory of interest), dari berbagai panadangan para ekonomi kapitalis sepanjang masa. Dalam classical  theory of interest tokoh  yang sangat  terkenal  adalah Smith  dan Ricardo, mereka berpendapat bahwa bunga merupakan kompensasi yang dibayarkan oleh peminjam (borrower) kepada si pemberi pinjaman (lender) sebagai balas jasa atas keuntungan yang diperoleh dari uang yang dipinjamkan. Konsep nilai waktu uang banyak digunakan oleh IASB, salah satunya adalah,   penerapan pada IAS 39, adanya biaya amortisasi pada aktiva tertentu dan kewajiban tertentu. “Pinjaman dan piutang … harus diukur dengan biaya diamortisasi dengan menggunakan metode efektif bunga.” (IAS 39, Par. 46 dalam PWC, 2011). Permasalahan yang terjadi adalah apakah seharusnya kita mencerminkan nilai waktu dari uang dalam pelaporan transaksi keuangan syariah, apabila tidak ada bunga yang jelas untuk dibebankan atau dikeluarkan dalam transaksi tersebut?. Pertanyaan ini untuk beberapa orang memiliki dampak yang tidak menyenangkan karena pengaturan ini dibuat untuk menghindari pengisian bunga akan mengakibatkan pelaporan pendapatan pembiayaan dengan sengaja (AOSSG, 2010). Misalnya yang terjadi pada kontrak penjualan tangguhan. Sebuah kontrak penjualan di mana pembayaran ditangguhkan untuk jangka waktu tertentu. Berdasarkan IAS 18 (dalam AOSSG, 2010) jika nilai wajar aktiva yang ditransfer kurang  dari  kas  yang  akan  diterima,  maka  perbedaan  tersebut  dicatat  sebagai  pendapatan pembiayaan. Namun dalam akuntansi syariah justru mengabaikan pendekatan nilai waktu uang sehingga jumlah seluruh kas yang diterima atau tidak diterima akan dicatat sebagai pendapatan penjualan. Selain itu, kelebihan kas yang diterima atas nilai wajar akan dipertimbangkan untuk ditransfer dan akan dicatat sebagai pendapatan penjualan, bukan pembiayaan pendapatan. 
(4) Isu-isu yang lain. Berikut isu-isu lain yang juga dirinci oleh AOSSG dalam research paper-nya di tahun 2010. Syirkah, menurut bahasa, adalah ikhthilath (berbaur). Adaupun menurut istilah syirkah (kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh kesadaran  untuk  meraih  keuntungan.  Masalah  yang  sering  dipertanyakan,  dalam  transaksi Syirkah  adalah  apakah  jumlah  yang  diterima  atau  dipegang  oleh  suatu  badan  di  bawah pengaturan Syirkah harus mewakili kepentingan kepemilikan di entitas itu. Adanya IFRS  9 menimbulkan suatu diskusi tentang apakah aset keuangan berdasarkan Syirkah akan diukur pada biaya diamortisasi atau nilai wajar. Ayat 4.2 menyatakan bahwa sebuah aset keuangan harus diukur pada biaya diamortisasi jika kedua kondisi terpenuhi yaitu aset tersebut diadakan dalam model bisnis yang bertujuan untuk memegang aset dalam rangka untuk mengumpulkan arus kas
kontraktual dan istilah kontrak dari aset keuangan menimbulkan pada tanggal tertentu untuk arus
kas yang semata-mata pembayaran pokok dan bunga atas nilai pokok yang beredar. Sebuah aset keuangan harus diukur pada nilai wajar kecuali diukur pada biaya diamortisasi jika kedua kondisi  terpenuhi  yaitu  asset  tersebut  diadakan  dalam  model  bisnis  yang  bertujuan  untuk memegang asset dalam rangka untuk mengumpulkan arus kas kontraktual dan istilah kontrak dari  asset  keuangan  menimbulkan  pada  tanggal  tertentu  untuk  arus  kas  yang semata-mata pembayaran pokok dan bunga atas nilai pokok yang beredar hal ini sesuai dengan ayat 4.2. Pengaturan Syirkah diberikan kewenangan sepenuhnya kepada investor terkait profit yang ada pada suatu perusahaan. Sehingga, aset-aset ini mungkin perlu diukur pada nilai wajar karena arus kas mungkin tidak mewakili ‘semata-mata pembayaran pokok dan bunga. Akan tetapi, dalam peraturan Syirkah telah ditetapkan suatu indikasi yang merujuk pada investor terkait peraturan pengembalian, tingkat pengembalian aktual yang dibayarkan kepada investor akan hampir selalu erat sesuai dengan tingkat indikasi ini, mencakup keuntungan yang dihasilkan oleh investee. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan untuk mengukur aktiva dengan biaya diamortisasi karena arus kas dapat dikatakan mirip ‘pembayaran pokok dan bunga’, dan sesuai dengan ayat 10 (b) (ii) FRS 108 dibutuhkan refleksi dari substansi ekonomi dan bukan hanya bentuk hukum.
 (i) Special Purpose Entity (SPE) adalah suatu entitas yang dibentuk oleh perusahaan untuk suatu tujuan tertentu, misalnya untuk membagi atau menghilangkan resiko finansial.
 (ii) Sukuk Penilaian memiliki definisi sertifikat yang bernilai sama dengan bagian atau seluruh dari kepemilikan harta yang berwujud untuk mendapatkan hasil dan jasa didalam kepemilikan asset dan proyek tertentu atau aktivitas investasi khusus, sertifikat ini berlaku setelah menerima nilai sukuk, saat jatuh tempo dengan menerima dana sepenuhnya sesuai dengan tujuan sukuk tersebut. Perdagangan sukuk mendapat suatu kontra baik karena sifat mereka (seperti  Bank  Sentral, Bahrain  sukuk  al-salam), karena kebanyakan produk  syariah khususnya sukuk bersifat “debt-based” atau “debt-likely”. Padahal idealnya keuangan syariah adalah “profit-loss sharing”, ini terlihat dari komposisi tingkat kupon sukuk yang dibayarkan masih  mendasarkan pada  tingkat  suku  bunga  tertentu.  Sehingga tidak  mengherankan jika AAOIFI memberikan penilaian bahwa sekitar 85% sukuk belum sesuai dengan syariah.   Biaya yang   diamortisasi telah diterapkan oleh sukuk yang terlebih dahulu, sejauh ini sesuai dengan peraturan IAS  39, di mana sukuk tidak diperdagangkan mungkin bisa dikategorikan sebagai ‘pinjaman dan piutang’ baik atau sebagai ‘dimiliki hingga jatuh tempo investasi ‘, dan diukur setelah pengakuan awal pada biaya diamortisasi. Kenyataannya, IFRS 9 sendiri   mengabaikan manajemen untuk instrumen individu, dan bukannya berfokus pada model bisnis suatu entitas untuk mengelola aset keuangan. Aset finansial untuk kemudian diukur pada biaya diamortisasi jika aset tersebut diadakan dalam model bisnis yang bertujuan untuk memegang aset dalam rangka  untuk  mengumpulkan  arus  kas  kontraktual  dan  istilah  kontrak  dari  aset  keuangan menimbulkan pada tanggal tertentu untuk arus kas yang semata-mata pembayaran pokok dan bunga atas nilai pokok yang beredar,hal ini terdapat pada ayat  4.2 IFRS  9. 
(iii) Derivatif Tertanam,  merupakan  salah  satu  karakteristik  sifat  perbankan  yang  merupakan  spekulasi (untung-untungan) terhadap perubahan nilai pasar. Transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai sarana mencari atau memberikan informasi tentang harga barang komoditi tertentu di kemudian hari (price  discovery).  Pernyataan  ini  menyebabkan  keputusan  syariah  bahwa  harga  harus diketahui  pada  saat  kontrak  untuk  menghilangkan  gharar  atau  ketidakpastian;  yang sering
diartikan bahwa harga harus ditinjau ulang (diperbaiki). Dampaknya adalah, bahwa lembaga keuangan Islam menghadapi risiko ketimpangan pendanaan saat pemberian jangka panjang suku bunga tetap pembiayaan didanai oleh deposito jangka pendek variabel tingkat. Pelanggan yang
sebelumnya menyesuaikan untuk tingkat yang lebih tinggi akan dirugikan pada saat harga pasar jatuh.  Oleh  karena  itu  dalam  meningkatkan  manajemen  likuiditas  dan  mengatasi  keluhan pelanggan,  pembiayaan  tingkat  variabel  telah  dikembangkan  berdasarkan  beberapa  konsep-
konsep Islam. Beberapa orang berkomentar bahwa tingkat keuntungan ini akan tutup pada variabel- yang menilai struktur mungkin derivatif tertanam karena adanya pengaruh di bawah IAS  39, ayat  10  (dan IFRS  9 ayat  4.6) yang mengatakan bahwa sebuah derivatif tertanam menyebabkan beberapa atau semua dari arus kas yang seharusnya dapat diperlukan oleh kontrak untuk dimodifikasi sesuai dengan tingkat bunga tertentu, instrumen keuangan harga, harga komoditas, nilai tukar asing, indeks harga atau tarif, rating kredit atau kredit indeks, atau variabel lain.  IAS 39  selanjutnya  membutuhkan  bahwa  derivatif  tertanam  dipisahkan  dari  kontrak utamanya jika memenuhi kriteria dalam paragraf  11-13. IFRS  9 ayat  4.7 tidak memerlukan derivatif tertanam untuk dipisahkan dari dalam lingkup standar, adalah mungkin bahwa mungkin ada  kontrak    Islam  di  luar  lingkup  IFRS  misalnya,  dalam  beberapa  kontrak  berdasarkan kemitraan seperti beberapa bentuk musharakah berkurang. Berdasarkan ayat 4,8 IFRS 9, entitas perlu untuk menerapkan IAS 39 paragraf 11-13.

KESIMPULAN
Prinsip dasar  paradigma  yaitu mencakup keseluruhan dimensi wilayah mikro dan makro dalam kehidupan manusia yang saling terkait. Pertama dimensi mikro prinsip dasar paradigm syariah adalah individu yang beriman kepada Allah SWT (tauhid) serta mentaati segala aturan dan larangan yang tertuang dalam Al-Qur’an, Al Hadits, Fiqh, dan hasil itjihad. Kedua, dimensi makro prinsip syariah adalah meliputi wilayah politik, ekonomi dan sosial. Dalam dimensi politik, menjunjung tinggi musyawarah dan kerjasama. Sedangkan dalam dimensi ekonomi, melakukan usaha halal, mematuhi larangan bunga, dan memenuhi kewajiban zakat. Selanjutnya dalam dimensi sosial yaitu mengutamakan kepentingan umum dan amanah. Ikatan Akuntan Indonesia pun sejauh ini telah menerbitkan enam standar terkait dengan Akuntansi Syariah, yaitu PSAK 101 (penyajian dan pengungkapan laporan keuangan entitas syariah), PSAK 102  (murabahah), PSAK  103 (salam), PSAK 104 (istishna), PSAK 105 (mudharabah), dan PSAK 106 (musyarakah). Namun, adanya standar-standar Akuntansi Syariah masih belum juga dapat membuat pihak-pihak yang berkepentingan merasa cukup terselesaikan permasalahannya.  Banyak  kebimbangan  dan ketakutan  yang  masih  membayangi  pengngaplikasian  akuntansi  syariah  berbasis  Islam  ini. Belum juga masalah ini terselesaikan, akuntansi syariah juga dihadapkan dengan permasalahan kompleks seputar adopsi International Financial Reporting Standards (IFRS) pada standar akuntansi Indonesia.
IFRS yang merupakan standar internasional yang mengacu pada akuntansi konvensional nampaknya ada beberapa bagian yang tidak cocok dengan prinsip akuntansi syariah ini. Akuntansi syariah adalah ilmu dan teknologi universal yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya, baik sosial, ekonomi, politik, peraturan  perundangan,  kultur,  persepsi  dan  nilai (masyarakat)  tempat  akuntansi  syariah diterapkan. Akuntansi syariah adalah akuntansi yang dikembangkan bukan hanya dengan cara “tambal  sulam”  terhadap  akuntansi  konvensional,  akan  tetapi,  merupakan  pengembangan filosofis terhadap nilai-nilai al-Qur’an yang diturunkan ke dalam pemikiran teoritis dan teknis akuntansi. Berdasarkan hasil tersebut maka bisa dikatakan bahwa konvergensi IFRS terhadap standar akuntansi syariah yang dilakukan di Indonesia tidak bisa sempurna seratus persen. AAOIFI  dalam  formulasinya  menyatakan  bahwa  ketika  IFRS  tidak  bisa  diadopsi  secara keseluruhan oleh IFI, ketika IASB tidak memiliki IFRS untuk menutupi praktek perbankan syariah dan praktek keuangan syariah, dan ketika IFRS dapat diadopsi maka AAOIFI tidak akan mengembangkan standar atau berkembang dan mengadopsi IFRS. Menurut Khairul Nizam, direktur  pengembangan  teknis  di  AAOIFI  (dalam  Ibrahim, 2009)  bahwa  kesenjangan  dan perbedaan akan terus ada di antara set kedua standar, karena kesenjangan dan perbedaan adalah hasil alami dari struktural tujuan yang berbeda dari IASB dan AAOIFI. IAI sendiri dalam
hal ini juga mengacu pada AAOIFI dalam menanggapi permasalahan konvergensi IFRS ini. IFRS yang ada tidak bisa dipaksakan untuk akuntansi syariah yang memiliki prinsip yang berbeda.


DAFTAR PUSTAKA

AOSSG, 2010, Research Paper:  ‘Financial Reporting Issues Relating to Islamic Financing’. http://www.aossg.org [Diakses 4 November 2014].

Baydoun dan Willet, 2000. ‘Islamic Corporate Report’.Abacus Vol.36.No.1.

Chapra, Umer. 2001. The Future of Economics: An Islamic Perspective. SEBI. Jakarta.

Gambling, TE dan Karim Rifaat AA, 1986, Journal of Business Accounting, Vol.13 (1)

Ibrahim, Mohamed Shanul Hameed. 2009. IFRS vs AAOIFI: ‘The Clash of Standards?’,Karya Ilmiah tidak dipublikasikan. Munich Personal RePEc Archive (MPRA) Paper No.12539.

Ikatan Akuntansi Indonesia. 2006. Exposure Draft Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah. IAI. Jakarta.

Isu-isu Standarisasi  dalam  Akuntansi  Syariah  Terkait  Konvergensi  International  Financial Reporting Standards (IFRS) di Indonesia melalui: http://www.nenygory.htm.[ diakses 5 November 2014]
Muhammad. 2004. Teori Penilaian dalam Akuntansi Syari’ah. IQTISAD Journal of Islamic Economics Vol.3, No.1.

Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2009. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

Razik, Amged Abd El. 2007. Challenges of International Financial Reporting Standards (IFRS) in the Islamic Acounting  World,  Case  of  Middle  Eastern  Countries.  Scientific  Bulletin Economic Sciences.  Vol. 8 (14).

Zaid, Omar Abdullah. 2004. Akuntansi Syariah: Kerangka Dasar dan Sejarah Keuangan Dalam Masyarakat Islam (terj. Syafe’I Antonio dan Harahap), LPFE: Jakarta.



0 comments:

Posting Komentar