Beberapa daerah di Indonesia
memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi peternakan berskala nasional.
Potensi ini belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga masyarakat belum
menyadari perlunya mengembangkan usaha mikro ini dengan skala nasional atau
skala global. Subsidi keuangan telah banyak diberikan namun usaha tersebut
hanya bertahan selama satu tahun. Konsep management tools pada sektor agriculture
masih belum menunjukkan adanya restrukturisasi perbaikan berkelanjutan.
Mengacu konsep IFRS (International Financial Reporting Standard) tentang
Biological Assets mengenai kerugian atau keuntungan pada pelaporan
keuangan peternak sapi perah memberikan perubahan berdasarkan konsep fair
value.
Peternak sapi perah
selama ini mengalami kesulitan tentang bagaimana melakukan pelaporan laporan
keuangan ketika digabungan dengan hasil pemerasan Susu. IAS (International
Accounting Standar) 41 menjelaskan mengenai pelaporan produktivitas peternak
sapi perah dengan konsep fair value, namun konsep tersebut masih belum
sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Masyarakat Indonesia dengan kekayaan hutan
yang melimpah dan memiliki daerah subur berpotensi untuk dilakukan pengembangan
produksi peternakan sapi perah sebagai salah satu komoditas ekspor.
Pengembangan produktivitas peternak sapi perah terbilang masih sulit. Dalam
pengelolaan produksi, masyarakat masih menggunakan teknologi pemerahan hasil
secara tradisional. Secara geografis, beberapa wilayah Indonesia diuntungkan
dengan beberapa daerah dataran tinggi bersuhu dingin yang mendukung
dikembangkannya produksi peternakan sapi perah skala nasional. Dalam mengelola
produktivitas, masyarakat mengalami kesulitan baik pengalaman, perawatan, dan
pengetahuan peternak yang mencakup aspek reproduksi, pemberian pakan,
pengelolaan hasil pasca panen, pemerahan, sanitasi dan pencegahan penyakit
serta pembukuan usaha. Di samping hal itu, pengetahuan petani mengenai aspek
pengelolaan keuangan harus ditingkatkan sehingga keuntungan yang diperoleh
sebanding dengan pemeliharaannya (Argiles dan Slof, 2001).
Perkembangan Pengelolaan Sapi Perah
Sebelum
adanya kebijakan dan bantuan pengadaan sapi dara (sapi yang siap beranak) dan pakan
konsentrat dari Dinas Peternakan Kabupaten xxx, peternak memperoleh kualitas
sapi sebatas jenis sapi lokal dan pengadaan konsentrat sering mengalami
kesulitan. Jika diperhitungkan secara maksimal, peternak hanya memanen hasil
sedikit dari pemeliharaan sapi perah melalui penjualan susu setiap harinya. Menurut
Firman (2003) budidaya sapi perah memerlukan penanganan dan perawatan secara
intensif. Di Indonesia perawatan dan pengembangan produksi sapi perah keluarga
masih dilaksanakan secara tradisional.
Peningkatan
populasi jumlah sapi impor masih sulit dilakukan oleh karena masyarakat
terkendala perolehan bibit berkualitas hingga biaya impor dan transportasi dari
pelabuhan menuju sentra lokasi pembibitan. Jarak kelahiran sapi antara anak
satu dengan lainnya juga cukup lama. Hal ini terkadang menyebabkan peternak
menjual sapinya saat sapi mengandung disebabkan kekurangan biaya hidup. Faktor
ekonomi menjadi penentu keberhasilan usaha ini, jika kebutuhan keluarga sudah
tidak dapat tercukupi maka peternak sering menjual ternaknya (Balitbang, 2000).
Kenyataan
bahwa produktivitas sapi perah yang dipelihara masih rendah disebabkan
rendahnya mutu genetik (bibit) sapi perahan yang bersifat lokal dan kualitas
pakan yang diberikan tidak mencukupi. Perbaikan kualitas budidaya bibit sapi
dapat ditingkatkan melalui pembinaan dan penyuluhan secara intensif. Namun
penyediaan stok bibit yang baik masih terus ditingkatkan dengan persilangan
sapi perah lokal dan sapi perah dari negara lain.
Kualitas
pakan mulai ditingkatkan melalui tambahan asupan konsentrat pakan ternak yakni
bekatul, brand, gandum kasar, dan polar. Saat ini peternak mengalami kekurangan
hijauan pakan ternak baik pada musim kemarau maupun musim penghujan akibat beralihnya
fungsi lahan hijau menjadi pemukiman/pariwisata. Kontinuitas pakan hijau
diperlukan untuk mempertahankan kualitas produktivitas susu. Peternak mengalami
kesulitan meningkatkan kepemilikan sapi karena peternak tidak sanggup mencari sumber
pakan hijau lebih banyak. Selain itu, terkadang pakan hijau juga harus
didatangkan dari daerah lain saat musim kemarau. Pakan ternak yang didatangkan
dari daerah lain memerlukan biaya transport yang tinggi sehingga biaya produksi
bertambah yang menyebabkan berkurangnya pendapatan peternak.
Peternak memberikan pakan hijau sekali sehari
dan sisanya dengan memberikan asupan tambahan seperti singkong cacah, ampas
tahu dan konsentrat polar, brand, atau bekatul. Menanggulangi permasalahan ini
beberapa peternak telah mengusungkan program kepada Dinas Peternakan setempat
untuk dibuatkan pabrik mini konsentrat lokal agar mengurangi biaya pakan
peternak sapi perah. Tetapi realisasi program ini masih sulit dan belum dapat dilakukan
karena terkenda biaya dan teknologi pembuatannya.
Kegiatan
good farming practices dapat mempengaruhi produktivitas dan kualitas
susu segar yang dihasilkan peternak. Manajemen pemeliharaan, tata cara
perkawinan, pemberian pakan, penanganan kesehatan induk dan penanganan susu
segar masih sulit dilakukan oleh peternak dengan skala pemeliharaan 2-3 sapi
perah. Akibanya sentra peternakan susu sapi perah kurang berkembang dengan
rendahnya kuantitas dan kualitas susu segar yang diperah. Harga yang ditetapkan
koperasi berdasarkan kualitas susu yang dijual oleh peternak. Apabila kualitas
bagus dan memenuhi standar kriteria pengujian maka harga bisa mencapai
Rp.5.900,- per liter dan harga terendah berkisar Rp. 4.500,- (data 2015). Harga
susu bersifat fluktuatif dan tidak menentu yang dipengaruhi oleh tingkat
pemeliharaan dan produktivitas sapi perah.
Pemeliharaan utama adalah pemberian
pakan yang cukup dan berkualitas serta menjaga kebersihan kandang dan kesehatan
ternak yang dipelihara. Bentuk kandang semi tradisional biasanya air seni dan
kotoran ditampung dalam tank pengolahan yang selanjutnya diproses menjadi
biogas. Jika menggunakan perkandangan modern maka mulai dari alas hingga
kondisi kandang terjaga dengan baik hingga pengolahan limbah menjadi biogas dan
pupuk kandang.
Penilaian Biological Asset
Diberlakukannya
akuntansi Agricultural (Tabel 1.1) oleh IASB melalui IAS 41 telah
merubah akuntansi domestik menjadi akuntansi global (Mates and Grosu, 2008);
(Lefter dan Roman, 2007). IAS 41 menjelaskan mengenai konsep biological
assets tentang bagaimana mengukur kegiatan agronomi secara fair value
saat pencatatan dan pelaporan transaksi kegiatan (Reed and Clarke, 1998). Pencatatan
laba atau rugi berkaitan dengan hasil panen dikurangi biaya produktivitas
hingga biaya penjualan periode pasca panen. Kesulitan menilai fair value
telah dirasakan oleh berbagai pihak. Belum adanya standar yang dapat menetapkan
penilaian suatu harga menyebabkan konsep ini masih memerlukan perhatian yang
lebih (Herbohn, 2006); (Bohusova, 2012).
Menurut
Kieso et al. (2011) Pencatatan asset biologis termasuk asset non lancar yang
mencakup binatang atau tumbuhan hidup seperti domba, sapi, pohon berbuah, atau
tanaman kapas. Pengukuran produk pasca pemanenan yakni biaya penjualan
dikurangi Net Reliazable Value dan saat pemanenan NRV menjadi biaya
produksi sesungguhnya. Sedangkan menurut IFRS unrealized gain or loss
dimasukan ke dalam akun pendapatan atau biaya lain-lain. Berikut perhitungan biological
assets untuk sapi perah menurut Kieso et al dengan studi kasus peternak
sapi perah di salah satu kecamatan di Indonesia (Tabel 1.2).
Tabel 1.1 Produk pertanian dan perhutanan (IAS 41.4) menurut
Lefter dan Roman (2007)
Biological
Assets
|
Produk
pertanian
|
Produk
hasil panen
|
Domba
|
Wool
|
Benang; karpet
|
Tanaman pohon
|
Kayu; Kapas; rotan
|
Kayu; Benang; pakaian
|
Sapi perah
|
Susu
|
Keju; yogurt
|
Tanaman semak
|
Daun
|
The; tembakau
|
Tanaman Anggur
|
Anggur
|
Wine
|
Pohon buah
|
Buah
|
Berbagai olahan buah
|
Tabel 1.2 Perhitungan Biological Assets menurut Kieso
et.al
Milking
Cows
Carrying value, January 2015
Change in fair value due to growth and
price changes
Decrease in fair value due to harvest
Change in carrying value
Carrying
value, January 2015
Milk
harvested during January 2015
|
350.000
(120.000)
|
15.000.000
230.000
+
15.230.000
150.000
|
Sumber: Data
diolah
Penentuan nilai wajar aset biologis
oleh peternak berdasarkan usia atau kualitas ternak yang menghasilkan produksi
susu atau sapi dara yang belum siap perah berdasarkan umur dan deskripsi asset.
Metode judgement diperlukan untuk mementukan harga jual sementara biaya
produksi dihitung berdasarkan cost realization value. Keuntungan atau
kerugian periode berjalan dihitung dari perubahan nilai wajar atau kenaikan
asset serta susu yang dihasilkan dan dijual.
Peternakan
Sapi
(Bos Taurus) adalah binatang dalam keluarga hewan bovinae yang biasa
dipanggil lembu atau kerbau. Masyarakat memelihara sapi untuk diambil dagingnya
sebagai makanan sehari-hari dan diambil susunya (diperah) sebagai konsumsi
minuman tambahan yang kaya sumber gizi dan protein. Disamping itu, sapi juga
dapat dijadikan alat pembajak sawah dan alat transportasi. Para peternak sering
menggunakan sapi sebagai alat penggerak untuk membajak sawah yang meringankan
petani.
Asal
usul sapi diperkirakan berasal dari Asia Tengah, kemudian menyebar ke seluruh
penjuru dunia hingga ke Indonesia. Jenis sapi banyak tersebar di berbagai
belahan dunia sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Jenis
sapi perah yang banyak dikembangkan di Indonesia yakni sapi peranakan Friesian
Holstein yakni sapi hasil persilangan sapi peranakan ongole (sapi lokal)
dengan sapi Fries Holland (sapi asal Belanda). Ciri fisik yang dominan
adalah sapi memiliki bulu rambut berwarna belang hitam putih. Kemampuan
berproduksi susu sapi peranakan Fries Holland di Indonesia rata-rata 10
lt/hari. Produksi tersebut masih termasuk rendah bila dibandingkan dengan
produksi susu rata-rata di negara-negara maju. Produksi susu yang rendah
disebabkan pemberian asupan makanan yang belum tepat takar dan berat sapi juga
mempengaruhi jumlah produksi susu. Semakin besar dan mahal harga sapi Brenggolo
(dalam istilah jawa) maka jumlah susu yang dihasilkan semakin meningkat.
Berbagai kendala dan kondisi
terkait peternakan keluarga sapi perah Indonesia yang terlihat melalui ketidakmampuan
bersaing dari sisi harga, kualitas, dan produksi susu impor. Dampak yang
ditimbulkan pada kondisi tersebut yakni kehancuran peternakan sapi perah di
Indonesia atau tetap exist di tengah persaingan global. Kehancuran
peternakan sapi perah dapat terjadi bila tidak ada kerjasama dan peran serta
masyarakat, peternak, dan pemerintah sebagaimana mestinya. Namun dapat pula
peternakan sapi perah tetap bersaing secara sinergis memperbaiki kualitas dan
kuantitas susu domestik dalam menghadapi tantangan global dan kompetisi
perdagangan yang semakin ketat.
Ekonomi Kreatif
Usaha
peternakan sapi perah keluarga memberikan keuntungan jika jumlah sapi yang
dipelihara minimal sebanyak 6 ekor (Balitbang, 2014). Namun, kondisi efisiens
peternak di Kecamatan xxx dan Kecamatan xxx hanya dapat dicapai 2-6 ekor dengan
minimal pengusahaannya sebanyak 2 ekor dengan rata-rata produksi susu sebanyak
15-20 lt/hari. Upaya peningkatan pendapatan melalui pembudidayaan sapi perah
tersebut dapat dilakukan melalui diversifikasi usaha baik secara kooperatif dan
integratif (horizontal dan vertikal) dengan peternak lainnya atau tergabung dalam
suatu komunitas peternak sapi perah.
Peternak
sapi perah selama ini belum berorientasi ekonomi dan memperhatikan kualitas
susu. Rendahnya tingkat produktivitas menjadi kendala utama. Pengalaman
berternak mempunyai andil dalam menentukan keberlangsungan usaha peternakan.
Peternak susu yang tekun dalam bekerja biasanya memperoleh hasil perahan susu
yang lebih banyak dibandingkan dengan peternak susu yang kurang rajin. Peternak
susu dengan sama-sama jumlah ternaknya 2 sapi dapat menghasilkan perahan susu
sapi yang berbeda. Peternak yang kurang rajin maksimal memerah susu 5-7 lt/hari
setiap sekali pemerahan sedangkan peternak yang rajin bisa menghasilkan susu
7-10 lt/hari. Hasil perahan susu dipengaruhi beberapa faktor yaitu kualitas
bibit sapi dan pemeliharaan sapi. Bibit sapi yang unggul menghasilkan sapi
dengan ukuran yang besar dan pemeliharaan sapi dilakukan secara maksimal dengan
pemberian pakan ternak berupa rumput hijau dan konsentrat bekatul, brand, atau
polar. Pemberian asupan makanan tambahan tersebut dapat meningkatkan
produktivitas dan kualitas susu sapi sehingga orientasi ekonomi peternak dapat
tercapai.
Pengembangan perekonomian melalui
sektor peternakan dapat memunculkan kreativitas baru setelah ditemukan permasalahan
mengenai produktivitas susu baik ditinjau dari segi proses pengolahan,
distribusi, dan manajemen penjualan. Hal tersebut merupakan bagian permasalahan
masyarakat menengah ke bawah sehingga pressure untuk menyesuaikan
perubahan akibat diberlakukannya perdagangan bebas. Tekanan serta kondisi
demikian masyarakat mampu melakukan berbagai inovasi dan pengembangan hasil
panen susu. Pengembangan tersebut antara lain susu diolah menjadi dodol susu,
keripik susu, yogurt dan keju berbasis home industry. Berbagai olahan
tersebut masih belum maksimal dan diharapkan inovasi pengolahan hasil susu
terus dilakukan sehingga dapat menambah khasanah kuliner Indonesia.
KESIMPULAN
Penerapan konsep biological assets dengan fair
value memberikan implikasi perhitungan laba atau rugi terhadap laporan
keuangan harian maupun bulanan peternak sapi perah dan tentunya juga berimbas
kepada peningkatan kualitas dan efisiensi manajemen tools peternak sapi
perah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka konsep biological assets
dinilai dapat memberikan hasil yang optimal apabila dibandingkan dengan historical
value. Namun perlu diperhatikan pula bahwa hingga saat ini, Indonesia belum
merealisasikan konsep ini dalam sektor agriculture. Oleh karenanya,
apabila konsep biological assets ini diterapkan, maka perlu diperhatikan
mekanisme penilaian dan pemahaman secara wajar, reliable dan understandability.
DAFTAR PUSTAKA
Argiles, J. M., & Slof, E. J. (2001). European
Accounting Review: New opportunities for farm ccounting, 10 (2), 361-383.
Budidaya Sapi
Perah. (____). Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi.
Dwi Nugroho P, Peoni. (2012).
Penerapan Akuntansi Biologis IAS 41 di Indonesia: Prospek dan Hambatan.
Salatiga: FEB-UKSW.
E. Martindah dan
R.A. Saptati. (___) . Semiloka Nasional prospek Industri Sapi Perah Menuju
Perdagangan Bebas 2020. The Role and Effort of Dairy Farming Cooperation to
Increase Milk Quality in West Java. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.
Firman, Achmad.
2007. Manajemen Agribisnis Sapi Perah: Suatu Telaah Pustaka. Bandung:
Universitas Padjajaran.
Herbohn, K., & Herbohn, J. (2006). International
Accounting Standard (IAS) 41: what are the implications for reporting
forest assets? Small-scale Forest Economics, Management and Policy, Vol. 5(2), pp. 175-189.
D.E. Kieso, Jerry J. Weygandt, and Paul D. Kimmel. 2011.
Intermediate Accounting Volume 1 IFRS Edition. US: John Wiley and Sons.
Lefter, V., & Roman, A. G. (2007). IAS 41 Agriculture:
Fair value accounting.Theoretical and applied Economics, Vol. 5(510), pp. 15-22.
Maruli, S., & Mita, A. F. (____). Analisis Pendekatan
Nilai Wajar dan Nilai Historis Dalam Penilaian Aset Biologis Pada Perusahaan
Agrikultur: Tinjauan Kritis Rencana Adopsi IAS 41.
Mates, D., & Grosu, V. (2008). Lucrari Stiintifice,
seria Agronomie: Evaluating and recognizing biological assets and
agricultural activities according to IAS 41. Vol.
(51), pp. 457-462.
Miftah Farid dan
Heny Sukesi. 2011. Buletin Ilmiah: Pengembangan Susu Segar Dalam Negeri
untuk Pemenuhan Kebutuhan Susu Nasional. Vol. 5 No. 2, Desember 2011.
Nagel,
P. Julius F. (2013). Peluang Dan Tantangan Ukm Indonesia Menghadapi
Masyarakat Ekonomi Asean 2015. Sustainable
Competitive Advantage (SCA) 3.1.
Nono Rusono,
Anwar Suanri, Ade Candradijaya, Ali Muharam, Ifan Martino, Tejaningsih, Prayogo
Utomo Hadi, Hery Susilowati, dan Muhammad Maulana. 2013. Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan dan Pertanian 2015-2019.
Jakarta: Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas.
Ruth Dameria
Haloho, Siswanto Imam Santoso, dan Sudiyono Marzuki. (2013). Jurnal
Pengembangan Humaniora: Analisis Profitabilitas pada Usaha Peternakan Sapi
perah di Kabupaten Semarang. Vol.13. No. 1, April.
Syukriah,
Ana, and Imam Hamdani. (2013). Economics Development Analysis Journal: Peningkatan
Eksistensi UMKM Melalui Comparative Advantage dalam Rangka Menghadapi
Mea 2015 di Temanggung. Vol 2. No. 2,
April.
terimakasih, membantu banget tapi,
BalasHapusperhitungan biological aset menurut kieso itu, dpat angkanya dari mana ya? kok tidak ada soalnya?
mantap tulisannya gan
BalasHapusuntuk ulasan mengenai pengelolaan ternak lainnya
kunjungi blog kami ya…
www.bisnisfarm.wordpress.com
Salam sukses.