17 Apr 2016

Konsep Biological Asset-Peternakan di Indonesia


Beberapa daerah di Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi peternakan berskala nasional. Potensi ini belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga masyarakat belum menyadari perlunya mengembangkan usaha mikro ini dengan skala nasional atau skala global. Subsidi keuangan telah banyak diberikan namun usaha tersebut hanya bertahan selama satu tahun. Konsep management tools pada sektor agriculture masih belum menunjukkan adanya restrukturisasi perbaikan berkelanjutan. Mengacu konsep IFRS (International Financial Reporting Standard) tentang Biological Assets mengenai kerugian atau keuntungan pada pelaporan keuangan peternak sapi perah memberikan perubahan berdasarkan konsep fair value
Peternak sapi perah selama ini mengalami kesulitan tentang bagaimana melakukan pelaporan laporan keuangan ketika digabungan dengan hasil pemerasan Susu. IAS (International Accounting Standar) 41 menjelaskan mengenai pelaporan produktivitas peternak sapi perah dengan konsep fair value, namun konsep tersebut masih belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Masyarakat Indonesia dengan kekayaan hutan yang melimpah dan memiliki daerah subur berpotensi untuk dilakukan pengembangan produksi peternakan sapi perah sebagai salah satu komoditas ekspor. Pengembangan produktivitas peternak sapi perah terbilang masih sulit. Dalam pengelolaan produksi, masyarakat masih menggunakan teknologi pemerahan hasil secara tradisional. Secara geografis, beberapa wilayah Indonesia diuntungkan dengan beberapa daerah dataran tinggi bersuhu dingin yang mendukung dikembangkannya produksi peternakan sapi perah skala nasional. Dalam mengelola produktivitas, masyarakat mengalami kesulitan baik pengalaman, perawatan, dan pengetahuan peternak yang mencakup aspek reproduksi, pemberian pakan, pengelolaan hasil pasca panen, pemerahan, sanitasi dan pencegahan penyakit serta pembukuan usaha. Di samping hal itu, pengetahuan petani mengenai aspek pengelolaan keuangan harus ditingkatkan sehingga keuntungan yang diperoleh sebanding dengan pemeliharaannya (Argiles dan Slof, 2001).
Perkembangan Pengelolaan Sapi Perah
Sebelum adanya kebijakan dan bantuan pengadaan sapi dara (sapi yang siap beranak) dan pakan konsentrat dari Dinas Peternakan Kabupaten xxx, peternak memperoleh kualitas sapi sebatas jenis sapi lokal dan pengadaan konsentrat sering mengalami kesulitan. Jika diperhitungkan secara maksimal, peternak hanya memanen hasil sedikit dari pemeliharaan sapi perah melalui penjualan susu setiap harinya. Menurut Firman (2003) budidaya sapi perah memerlukan penanganan dan perawatan secara intensif. Di Indonesia perawatan dan pengembangan produksi sapi perah keluarga masih dilaksanakan secara tradisional.
Peningkatan populasi jumlah sapi impor masih sulit dilakukan oleh karena masyarakat terkendala perolehan bibit berkualitas hingga biaya impor dan transportasi dari pelabuhan menuju sentra lokasi pembibitan. Jarak kelahiran sapi antara anak satu dengan lainnya juga cukup lama. Hal ini terkadang menyebabkan peternak menjual sapinya saat sapi mengandung disebabkan kekurangan biaya hidup. Faktor ekonomi menjadi penentu keberhasilan usaha ini, jika kebutuhan keluarga sudah tidak dapat tercukupi maka peternak sering menjual ternaknya (Balitbang, 2000).
Kenyataan bahwa produktivitas sapi perah yang dipelihara masih rendah disebabkan rendahnya mutu genetik (bibit) sapi perahan yang bersifat lokal dan kualitas pakan yang diberikan tidak mencukupi. Perbaikan kualitas budidaya bibit sapi dapat ditingkatkan melalui pembinaan dan penyuluhan secara intensif. Namun penyediaan stok bibit yang baik masih terus ditingkatkan dengan persilangan sapi perah lokal dan sapi perah dari negara lain.
Kualitas pakan mulai ditingkatkan melalui tambahan asupan konsentrat pakan ternak yakni bekatul, brand, gandum kasar, dan polar. Saat ini peternak mengalami kekurangan hijauan pakan ternak baik pada musim kemarau maupun musim penghujan akibat beralihnya fungsi lahan hijau menjadi pemukiman/pariwisata. Kontinuitas pakan hijau diperlukan untuk mempertahankan kualitas produktivitas susu. Peternak mengalami kesulitan meningkatkan kepemilikan sapi karena peternak tidak sanggup mencari sumber pakan hijau lebih banyak. Selain itu, terkadang pakan hijau juga harus didatangkan dari daerah lain saat musim kemarau. Pakan ternak yang didatangkan dari daerah lain memerlukan biaya transport yang tinggi sehingga biaya produksi bertambah yang menyebabkan berkurangnya pendapatan peternak.
 Peternak memberikan pakan hijau sekali sehari dan sisanya dengan memberikan asupan tambahan seperti singkong cacah, ampas tahu dan konsentrat polar, brand, atau bekatul. Menanggulangi permasalahan ini beberapa peternak telah mengusungkan program kepada Dinas Peternakan setempat untuk dibuatkan pabrik mini konsentrat lokal agar mengurangi biaya pakan peternak sapi perah. Tetapi realisasi program ini masih sulit dan belum dapat dilakukan karena terkenda biaya dan teknologi pembuatannya.
Kegiatan good farming practices dapat mempengaruhi produktivitas dan kualitas susu segar yang dihasilkan peternak. Manajemen pemeliharaan, tata cara perkawinan, pemberian pakan, penanganan kesehatan induk dan penanganan susu segar masih sulit dilakukan oleh peternak dengan skala pemeliharaan 2-3 sapi perah. Akibanya sentra peternakan susu sapi perah kurang berkembang dengan rendahnya kuantitas dan kualitas susu segar yang diperah. Harga yang ditetapkan koperasi berdasarkan kualitas susu yang dijual oleh peternak. Apabila kualitas bagus dan memenuhi standar kriteria pengujian maka harga bisa mencapai Rp.5.900,- per liter dan harga terendah berkisar Rp. 4.500,- (data 2015). Harga susu bersifat fluktuatif dan tidak menentu yang dipengaruhi oleh tingkat pemeliharaan dan produktivitas sapi perah.
Pemeliharaan utama adalah pemberian pakan yang cukup dan berkualitas serta menjaga kebersihan kandang dan kesehatan ternak yang dipelihara. Bentuk kandang semi tradisional biasanya air seni dan kotoran ditampung dalam tank pengolahan yang selanjutnya diproses menjadi biogas. Jika menggunakan perkandangan modern maka mulai dari alas hingga kondisi kandang terjaga dengan baik hingga pengolahan limbah menjadi biogas dan pupuk kandang.
Penilaian Biological Asset
Diberlakukannya akuntansi Agricultural (Tabel 1.1) oleh IASB melalui IAS 41 telah merubah akuntansi domestik menjadi akuntansi global (Mates and Grosu, 2008); (Lefter dan Roman, 2007). IAS 41 menjelaskan mengenai konsep biological assets tentang bagaimana mengukur kegiatan agronomi secara fair value saat pencatatan dan pelaporan transaksi kegiatan (Reed and Clarke, 1998). Pencatatan laba atau rugi berkaitan dengan hasil panen dikurangi biaya produktivitas hingga biaya penjualan periode pasca panen. Kesulitan menilai fair value telah dirasakan oleh berbagai pihak. Belum adanya standar yang dapat menetapkan penilaian suatu harga menyebabkan konsep ini masih memerlukan perhatian yang lebih (Herbohn, 2006); (Bohusova, 2012).
Menurut Kieso et al. (2011) Pencatatan asset biologis termasuk asset non lancar yang mencakup binatang atau tumbuhan hidup seperti domba, sapi, pohon berbuah, atau tanaman kapas. Pengukuran produk pasca pemanenan yakni biaya penjualan dikurangi Net Reliazable Value dan saat pemanenan NRV menjadi biaya produksi sesungguhnya. Sedangkan menurut IFRS unrealized gain or loss dimasukan ke dalam akun pendapatan atau biaya lain-lain. Berikut perhitungan biological assets untuk sapi perah menurut Kieso et al dengan studi kasus peternak sapi perah di salah satu kecamatan di Indonesia (Tabel 1.2). 

Tabel 1.1 Produk pertanian dan perhutanan (IAS 41.4) menurut Lefter dan Roman (2007)
Biological Assets
Produk pertanian
Produk hasil panen
Domba
Wool
Benang; karpet
Tanaman pohon
Kayu; Kapas; rotan
Kayu; Benang; pakaian
Sapi perah
Susu
Keju; yogurt
Tanaman semak
Daun
The; tembakau
Tanaman Anggur
Anggur
Wine
Pohon buah
Buah
Berbagai olahan buah
Tabel 1.2 Perhitungan Biological Assets menurut Kieso et.al

Milking Cows
       Carrying value, January 2015
       Change in fair value due to growth and price changes
       Decrease in fair value due to harvest
             Change in carrying value
Carrying value, January 2015
Milk harvested during January 2015


 350.000
(120.000)

15.000.000

   

 230.000
                  +
15.230.000
150.000
Sumber: Data diolah

Penentuan nilai wajar aset biologis oleh peternak berdasarkan usia atau kualitas ternak yang menghasilkan produksi susu atau sapi dara yang belum siap perah berdasarkan umur dan deskripsi asset. Metode judgement diperlukan untuk mementukan harga jual sementara biaya produksi dihitung berdasarkan cost realization value. Keuntungan atau kerugian periode berjalan dihitung dari perubahan nilai wajar atau kenaikan asset serta susu yang dihasilkan dan dijual.
Peternakan 
Sapi (Bos Taurus) adalah binatang dalam keluarga hewan bovinae yang biasa dipanggil lembu atau kerbau. Masyarakat memelihara sapi untuk diambil dagingnya sebagai makanan sehari-hari dan diambil susunya (diperah) sebagai konsumsi minuman tambahan yang kaya sumber gizi dan protein. Disamping itu, sapi juga dapat dijadikan alat pembajak sawah dan alat transportasi. Para peternak sering menggunakan sapi sebagai alat penggerak untuk membajak sawah yang meringankan petani.
Asal usul sapi diperkirakan berasal dari Asia Tengah, kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia hingga ke Indonesia. Jenis sapi banyak tersebar di berbagai belahan dunia sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Jenis sapi perah yang banyak dikembangkan di Indonesia yakni sapi peranakan Friesian Holstein yakni sapi hasil persilangan sapi peranakan ongole (sapi lokal) dengan sapi Fries Holland (sapi asal Belanda). Ciri fisik yang dominan adalah sapi memiliki bulu rambut berwarna belang hitam putih. Kemampuan berproduksi susu sapi peranakan Fries Holland di Indonesia rata-rata 10 lt/hari. Produksi tersebut masih termasuk rendah bila dibandingkan dengan produksi susu rata-rata di negara-negara maju. Produksi susu yang rendah disebabkan pemberian asupan makanan yang belum tepat takar dan berat sapi juga mempengaruhi jumlah produksi susu. Semakin besar dan mahal harga sapi Brenggolo (dalam istilah jawa) maka jumlah susu yang dihasilkan semakin meningkat.
Berbagai kendala dan kondisi terkait peternakan keluarga sapi perah Indonesia yang terlihat melalui ketidakmampuan bersaing dari sisi harga, kualitas, dan produksi susu impor. Dampak yang ditimbulkan pada kondisi tersebut yakni kehancuran peternakan sapi perah di Indonesia atau tetap exist di tengah persaingan global. Kehancuran peternakan sapi perah dapat terjadi bila tidak ada kerjasama dan peran serta masyarakat, peternak, dan pemerintah sebagaimana mestinya. Namun dapat pula peternakan sapi perah tetap bersaing secara sinergis memperbaiki kualitas dan kuantitas susu domestik dalam menghadapi tantangan global dan kompetisi perdagangan yang semakin ketat.
Ekonomi Kreatif
Usaha peternakan sapi perah keluarga memberikan keuntungan jika jumlah sapi yang dipelihara minimal sebanyak 6 ekor (Balitbang, 2014). Namun, kondisi efisiens peternak di Kecamatan xxx dan Kecamatan xxx hanya dapat dicapai 2-6 ekor dengan minimal pengusahaannya sebanyak 2 ekor dengan rata-rata produksi susu sebanyak 15-20 lt/hari. Upaya peningkatan pendapatan melalui pembudidayaan sapi perah tersebut dapat dilakukan melalui diversifikasi usaha baik secara kooperatif dan integratif (horizontal dan vertikal) dengan peternak lainnya atau tergabung dalam suatu komunitas peternak sapi perah.
Peternak sapi perah selama ini belum berorientasi ekonomi dan memperhatikan kualitas susu. Rendahnya tingkat produktivitas menjadi kendala utama. Pengalaman berternak mempunyai andil dalam menentukan keberlangsungan usaha peternakan. Peternak susu yang tekun dalam bekerja biasanya memperoleh hasil perahan susu yang lebih banyak dibandingkan dengan peternak susu yang kurang rajin. Peternak susu dengan sama-sama jumlah ternaknya 2 sapi dapat menghasilkan perahan susu sapi yang berbeda. Peternak yang kurang rajin maksimal memerah susu 5-7 lt/hari setiap sekali pemerahan sedangkan peternak yang rajin bisa menghasilkan susu 7-10 lt/hari. Hasil perahan susu dipengaruhi beberapa faktor yaitu kualitas bibit sapi dan pemeliharaan sapi. Bibit sapi yang unggul menghasilkan sapi dengan ukuran yang besar dan pemeliharaan sapi dilakukan secara maksimal dengan pemberian pakan ternak berupa rumput hijau dan konsentrat bekatul, brand, atau polar. Pemberian asupan makanan tambahan tersebut dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas susu sapi sehingga orientasi ekonomi peternak dapat tercapai.
Pengembangan perekonomian melalui sektor peternakan dapat memunculkan kreativitas baru setelah ditemukan permasalahan mengenai produktivitas susu baik ditinjau dari segi proses pengolahan, distribusi, dan manajemen penjualan. Hal tersebut merupakan bagian permasalahan masyarakat menengah ke bawah sehingga pressure untuk menyesuaikan perubahan akibat diberlakukannya perdagangan bebas. Tekanan serta kondisi demikian masyarakat mampu melakukan berbagai inovasi dan pengembangan hasil panen susu. Pengembangan tersebut antara lain susu diolah menjadi dodol susu, keripik susu, yogurt dan keju berbasis home industry. Berbagai olahan tersebut masih belum maksimal dan diharapkan inovasi pengolahan hasil susu terus dilakukan sehingga dapat menambah khasanah kuliner Indonesia.
KESIMPULAN
Penerapan konsep biological assets dengan fair value memberikan implikasi perhitungan laba atau rugi terhadap laporan keuangan harian maupun bulanan peternak sapi perah dan tentunya juga berimbas kepada peningkatan kualitas dan efisiensi manajemen tools peternak sapi perah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka konsep biological assets dinilai dapat memberikan hasil yang optimal apabila dibandingkan dengan historical value. Namun perlu diperhatikan pula bahwa hingga saat ini, Indonesia belum merealisasikan konsep ini dalam sektor agriculture. Oleh karenanya, apabila konsep biological assets ini diterapkan, maka perlu diperhatikan mekanisme penilaian dan pemahaman secara wajar, reliable dan understandability.
DAFTAR PUSTAKA
Argiles, J. M., & Slof, E. J. (2001). European Accounting Review: New opportunities for farm ccounting, 10 (2), 361-383.
Budidaya Sapi Perah. (____). Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Dwi Nugroho P, Peoni. (2012). Penerapan Akuntansi Biologis IAS 41 di Indonesia: Prospek dan Hambatan. Salatiga: FEB-UKSW.
E. Martindah dan R.A. Saptati. (___) . Semiloka Nasional prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. The Role and Effort of Dairy Farming Cooperation to Increase Milk Quality in West Java. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Firman, Achmad. 2007. Manajemen Agribisnis Sapi Perah: Suatu Telaah Pustaka. Bandung: Universitas Padjajaran.
Herbohn, K., & Herbohn, J. (2006). International Accounting Standard (IAS) 41: what are the implications for reporting forest assets? Small-scale Forest Economics, Management and Policy, Vol. 5(2), pp. 175-189.
D.E. Kieso, Jerry J. Weygandt, and Paul D. Kimmel. 2011. Intermediate Accounting Volume 1 IFRS Edition. US: John Wiley and Sons.
Lefter, V., & Roman, A. G. (2007). IAS 41 Agriculture: Fair value accounting.Theoretical and applied Economics, Vol. 5(510), pp. 15-22.
Maruli, S., & Mita, A. F. (____). Analisis Pendekatan Nilai Wajar dan Nilai Historis Dalam Penilaian Aset Biologis Pada Perusahaan Agrikultur: Tinjauan Kritis Rencana Adopsi IAS 41.
Mates, D., & Grosu, V. (2008). Lucrari Stiintifice, seria Agronomie: Evaluating and recognizing biological assets and agricultural activities according to IAS 41. Vol. (51), pp. 457-462.
Miftah Farid dan Heny Sukesi. 2011. Buletin Ilmiah: Pengembangan Susu Segar Dalam Negeri untuk Pemenuhan Kebutuhan Susu Nasional. Vol. 5 No. 2, Desember 2011.
Nagel, P. Julius F. (2013). Peluang Dan Tantangan Ukm Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015. Sustainable Competitive Advantage (SCA) 3.1.
Nono Rusono, Anwar Suanri, Ade Candradijaya, Ali Muharam, Ifan Martino, Tejaningsih, Prayogo Utomo Hadi, Hery Susilowati, dan Muhammad Maulana. 2013. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan dan Pertanian 2015-2019. Jakarta: Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas.
Ruth Dameria Haloho, Siswanto Imam Santoso, dan Sudiyono Marzuki. (2013). Jurnal Pengembangan Humaniora: Analisis Profitabilitas pada Usaha Peternakan Sapi perah di Kabupaten Semarang. Vol.13. No. 1, April.
Syukriah, Ana, and Imam Hamdani. (2013). Economics Development Analysis Journal: Peningkatan Eksistensi UMKM Melalui Comparative Advantage dalam Rangka Menghadapi Mea 2015 di Temanggung. Vol 2. No. 2, April.


2 komentar:

  1. terimakasih, membantu banget tapi,
    perhitungan biological aset menurut kieso itu, dpat angkanya dari mana ya? kok tidak ada soalnya?

    BalasHapus
  2. mantap tulisannya gan
    untuk ulasan mengenai pengelolaan ternak lainnya

    kunjungi blog kami ya…

    www.bisnisfarm.wordpress.com

    Salam sukses.

    BalasHapus