Personality atau cara berfikir suatu unit yang
tergabung dalam masyarakat sosial dan lebih spesifik memiliki kepercayaan
(religiusitas) tertentu. Masyarakat memiliki cara berfikir dan kepercayaan yang
dapat menjadikan sebuah identitas dalam pembentukan sebuah masyarakat. Berawal
dari pembentukan pola fikir dan struktur masyarakat kemudian menjadi suatu
kesatuan ekonomi dan mempengaruhi perekonomian yang berlaku dalam masyarakat
(Gambling and Karim, 1986).
Ada beberapa religiusitas yang dapat mempengaruhi
dalam pembentukan sebuah accounting theory. Budaya dan custom juga dapat
mempengaruhi sebuah accounting (Hofstede, 1983; Gray, 1998). Religiusitas baik
secara individu maupun kelompok akan membentuk masyarakat dengan cara pandang
yang sama. Adanya politisasi dalam pembuatan accounting teori juga dimungkinkan
karena adanya pihak-pihak yang ingin berperan dalam teori tersebut. Misalkan
saja perusahaan minyak dan gas, ketika dalam proses pengeboran maka seluruh
biaya yang telah dikeluarkan akan dikapitalisasi sebagai asset. Namun biaya
tersebut dapat juga di expense kan semuanya. Dalam permasalahan ini terjadi conflict
interest pada perusahaan minyak dan gas apabila meng-expensekan seluruh
biaya perusahaan dimana laporan keuangan pada saat pencatatan expense maka
pendapatannya menjadi nol karena belum menemukan minyak atau gas pada periode
tersebut (Solomon, 1978).
Adanya kepentingan user dalam pembuatan accounting
theory dapat mempengaruhi official accounting dalam hal ini pemerintah.
Pemerintah kemudian dapat mempengaruhi masyarakat (konsep bottom down) dalam pembuatan
sebuah accounting teori. Sebaliknya masyarakat dan pemerintah dalam orthodox
model tidak mempengaruhi dalam pembentukan accounting teori. Berawal dari
konsep yang sama yakni The God namun konsep akhir accounting teori yang
dihasilkan menjadi berbeda dari hukum syariat masing-masing agama yang telah
ada. Misalkan pelarangan riba, riba dilarang dalam semua agama, namun karena
adanya faktor budaya dan perbedaan perspektif maka riba menjadi terpisah pada
konsep akuntansi barat dimana religiusitas tidak memiliki hubungan dengan social
culture.
Menurut Hayashi (1989), Islam merupakan sebuah
religiusitas yang berintegrasi secara disipline dengan masyarakat sosial,
politik, dan ekonomi dengan dasar hukum Allah (syari’ah). Apabila terjadi
perbedaan pada budaya atau religiusitas maka dapat menimbulkan perbedaan
sosial-ekonomi dan politik. Menurut Gambling dan Karim (1986) dan Hamid et al
(1993), Islam berbeda dengan Occident (Negara barat) dan Islam memiliki sistem
akuntansi tersendiri. Perbedaan tersebut mempengaruhi informasi yang akan
disajikan dalam laporan keuangan dan memberikan gambaran mengenai adanya konsep
Zakat, infaq and shodaqoh beside corporate social responsibility.
Dasar dalam penyusunan western accounting
merupakan kegiatan manusia itu sendiri baik bisnis, financial, dan manajemen
dimana hal teresebut bertolak belakang dengan Islamic accounting dengan
konsep syari’ah. Adanya konsep sosial yang lebih dominan dalam akuntansi islam
menjadi salah satu point utama dalam mewujudkannya kepada masyarakat yang
berkulturkan religiusitas.
Berikut pemaparan perbedaan Islamic accounting dan
Western financial accounting menurut Baydoun dan Willeti (2000):
Characteristic Western
Accounting System Islamic Corporate
Report
Philosophy Economic rationalism Unity of God
Principles Secular religious
Individualistic Communal
Profit maximization Reasonable profit
Survival of fittest Equity
Process Environment
Criteria Based upon modern commercial Based upon ethical law originating
Law-permissive
rather than ethical: in the Qur’an:
(Islamic law, As sunnah)
Limited
disclosure full
disclosure
Personal
accountability public
accountability
Personal disclosure
atau penyajian informasi hanya disajikan (dikhususkan) untuk tujuan tertentu
sedangkan dalam akuntansi islam tujuan pelaporan disajikan untuk masyarakat
umum terutama pertanggungjawaban pada Allah (The God). Baydoun dan Willet
(2000) menyampaian Islam sebagai bagian dari sebuah religiusitas sebagai
individual yang memiliki kewajiban terhadap masyarakat dan bukan hak individu
yang lebih dituntut dari masyarakat (individu to sociality).
Pembentukan sosial accounting dalam Islam
dapat menggunakan beberapa model daam proses perumusan teori akuntansi yakni
personal model, kolonial model, dan orthodox model. Personal model merupakan
model yang paling baik dalam perumusan dan pembuatan accounting teori
dalam akuntansi Islam disebabkan oleh adanya kesadaran dan pemahaman individu
yang lebih baik terhadap kewajibannya terhadap masyarakat.
Sedangkan kolonial model merupakan contoh negara
yang mengalami sebagai negara koloni (jajahan) dan kemudian menerapkan sistem
akuntansi negara imperal. Namun model koloni tersebut juga dapat diterapkan
karena adanya standarisasi laporan keuangan atau globalisasi informasi keuangan
yang mengharuskan adanya penerapan sistem akuntansi yang sama antar negara atau
user.
Individual responsibility
merupakan faktor utama dalam pembentukan sebuah society. Berawal dari
masyarakat maka dapat menimbulkan sebuah akuntabilitas terhadap kegiatan bisnis
dan perdagangan (Kamla, 2009). Kesadaran dan akuntabilitas yang telah
ada dalam masyarakat dapat menimbulkan sebuah sistem akuntansi yang dapat
diterima oleh setiap masyarakat dan meluas. Meskipun berada di negara-negara
jazirah arab yang terkenal dengan holistic dan religiusitas Islam,
penyajian disclosure dana zakat masih belum semuanya dapat
diimplementasikan (Maali et al, 2006: 282). Hal ini mengindikasikan bahwa
meskipun individu dan masyarakat telah mengenal Islam sebagai religiusitas
namun dalam penerapan sistem ekonomi islam pun belum dapat sepenuhnya diimplementasikan
secara maksimal.
Dalam Kolonial model dapat diibaratkan seperti
pemaksaan sebuah sistem akuntansi dari Internasional standar memasuki sistem
akuntansi domestik. Misalkan penerapan IFRS yang diharmonisasikan dengan PSAK
aturan standar akuntansi di Indonesia. Kemudian penerapan dalam AAOIFI standard
terhadap Islamic Bank di Sudan, Animal Bank dan Bank Sudan memang melaporkan
adanya full disclosure namun pencapaian aturan disclosure hanya sedikit yang
mengikuti standar AAOIFI (Maali et al, 2006: 285).
Pada masa post-kolonial di negara-negara Arab,
akuntansi kolonial menjadi akuntansi sosial yang diterapkan melalui peraturan.
Kemudian setelah diimplementasikan, nilai dan perhatian terletak pada cultural
beliefs dan filosofi akan sebuah teori akuntansi yang dianggap lebih baik yaitu
western accounting yang disesuaikan dengan transmultikultural. Social
accounting merupakan penguasaan dan penyesuaian yang paling baik dalam
mengembangkan alternative akuntansi secara praktek (Kania, 2007: 108).
Sistem akuntansi kolonial berawal dari adanya
kolonisasi daerah tertentu baik berupa orangnya, budaya, politik, sistem
administrasi dan bahkan sistem ekonominya.
Kolonialisasi yang telah melekat dalam masyarakt dapat mempengaruhi
pembuatan accounting teori sehingga dapat dikatakan sebagai teori akuntansi
model kolonial. Sedangkan dalam orthodox model, sistem akuntansi dapat berasal
dari seseorang yang duduk di pemerintahan atau orang umum yang dipercaya oleh
masyarakat. Contoh negara yang
mengimplikasikan orthodox model yakni negara Russia, dalam sistem
perekonomiannya Russia dipegang oleh pemerintah namun dapat juga tokoh
masyarakat dapat menggulingkan pemerintah dan sistem ekonomi dapat berubah. Accounting
merupakan bagian dari masyarakat sosial yang tidak dapat terpisahkan. Berubahnya
sistem akuntansi mengartikan mengenai berubahnya sistem dan bahkan budaya sosial.
Dalam Islamic sosial terdapat beberapa element
organisasi yang terdapat dalam masyarakat misalkan pemerintah, organisasi
religiusitas, Bank syariah dan lembaga-lembaga lainnya. Setiap lembaga memiliki
karakteristik tersendiri misalkan bank syariah maka sumber daya manusianya
mayoritas memahami mengenai hukum islam secara ekonomi sedangkan pemerintah
sumber daya manusianya lebih memahami mengenai hukum dassar islam dari segi
politik. Syarat utama dalam pencapaian dasar sumber daya Islami yakni Islamic
identity, manhood, citizenship, adulthold, equitability, eloquence, wisdom,
knowledge of syariah, integrity, and competence (Abdullah, 2000).
Dalam praktik secara global saat ini masyarakt belum dapat memenuhi persyaratan
yang disebutkan di atas dikarenakan mash terbatasnya kualitas sumber daya
islami yang memenuhi persyaratan tersebut. Berbagai kendala seperti terbatasnya
tenaga pengajar yang dapat membentuk karakter sumber daya insani sehingga dapat
memberikan kontribusi terhadap masyarakt luas.
Dalam mewujudkan kualitas sumber daya insani di
bidang ekonomi masih terasa masih memiliki banyak kendala disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya terbatasnya badan atau lembaga syariah di Indonesia
yang dapat mengimplementasikan requirement tersebut. Budaya global yang
semakin berkembang memunculkan peningkatan dalam berbagai unit bisnis syariah.
Masyarakat mulai dapat menerima praktik kegiatan syariah secara meluas. Namun
dalam hal kualitas individu berbasis islami masyarakat masih memiliki kendala
mengenai latar belakang dan perspektif terhadap perekonomian global secara
syariah.
Pada sistem akuntansi barat konsep knowledge of
sharia atau konsep religiusitas tidak dipertimbangkan dalam seorang
karyawan bekerja. Konsep yang dipertimbangkan berupa konsep umum
(materialitas). Mengacu pada kondisi masyarakat yang beragam perspektif dan
religiusitas maka dalam pengambilan konsepnya mengacu pada rasionalitas dan prinsip
religiusitas tidak dimasukan dalam kriteria accounting requirement.
Perbedaan religiusitas dapat menyebabkan perbedaan perspektif dalam pola
seseorang bekerja.
Budaya lokal masyarakat juga dapat menimbulkan
perbedaan sistem akuntansi. Akuntansi official tentu berbeda dengan
akuntansi tribal yang hanya dipakai dalam kelompok tertentu saja. akuntansi official
diimplementasikan dalam menghadapi sisitem akuntansi yang secara global
misalkan IFRS standar yang diterapkan pada berbagai negara. Sedangkan akuntansi
tribal dapat merupakan akuntansi belanda yang berkembang pada zaman
kolonialisasi dan saat ini memunculkan akuntansi tribal baru yakni berupa PSAK
yang dapat diharmonisasikan dengan budaya lokal Indonesia dan IFRS standar.
Dalam model orthodox, masyarakat dan pemerintah
terpisah dalam hal merumuskan sebuah teori akuntansi. Namun dalam merumuskan
teori tersebut ada seseorang yang dapat berasal dari pemerintah atau masyarakat
yang dapat merumuskan teori akuntansi. Masyarakat lebih terbebas dalam menentukan
perspektifnya dalam hal kebebasan berfikir. Struktur masyarakat beragam culture
dan bahkan religiusitas tidak dipertimbangkan. Namun menjadi sebuah dilemma
ketika terjadi mayoritas kelompok dalam struktur masyarakat tersebut sehingga
menyebabkan privatisasi teori akuntansi.
Pembuatan standar teori akuntansi dilakukan oleh
AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution).
Dalam pembuatan standar pun masih terjadi problems adanya konflik
interest diantara badan pembuat standard self regulation pihak eksternal
pengguna standar. Pihak standar menginginkan standar yang dapat
diimplementasikan secara umum kepada user sedangkan pengguna eksternal
menginginkan adanya standar yang menguntungkan user eksternal saja.
Dalam implementasi islam tersendiri pun terhadap
masyarakat luas yang berbeda religiusitas juga masih memiliki banyak kendala
dimana Islam merupakan agama yang universal berlaku untuk semua masyarakat.
Berbeda hal nya dengan agama Kristen dan Yahudi yang menganggap Islam sebagai
agama tersendiri dan memiliki pandangan mengenai hukum Islam yang berbeda. Hukum
Islam syari’ah umumnya sulit untuk diterima dalam masyarakat umum. Hukum Islam
dipandang memiliki kekhasan tersendiri dalam penerapannya. Misalkan mengenai
penerapan zakat yang penyalurannya hanya boleh diperuntukan kepada delapan
asnaf. Sedangkan dalam masyarakat selain islam hal tersebut bisa diterima namun
penyampaiannya menjadi pertanyaan tersendiri mengapa harus diperuntukan kepada
delapan asnaf.
Dalam akuntansi barat juga ada mengenai dana sosial
yang diperuntukan kepada masyarakat umum namun hal tersebut tidak sesuai dengan
hukum islam. Sehingga dalam konteks ini terjadi perbedaan gap yang
sangat mendasar dalam penerapan sistem accounting. Akuntansi islam yang baru
beberapa dasawarsa berkembang menjadi kajian tersendiri dan bahkan
peneliti-peneliti orang barat masih memiliki beberapa kekurangan berupa dasar
teori dan penelitian yang masih terbatas.
Kegiatan perdagangan dan bisnis pada dasarnya sama
akan tetapi terjadi beberapa perbedaan misalkan dalam hal time value of money. Time
value of money system akuntansi barat berbeda dengan sistem akuntansi
islam. Dalam akuntansi barat time value of money hanya berputar pada
uang yang menumpuk di bank sedangkan time value of money yang
diperbolehkan dalam Islam mengakui adanya underlying asset dalam proses
perputaran uang yang menumpuk. Underlying asset dalam hal ini perputaran
uang dapat dalam bentuk berupa kegiatan produksi, perdagangan maupun kegiatan
jasa.
Dalam praktik underlying assets ada peran
lembaga yang dapat berpartisipasi dalam praktik ekonomi islam yaitu adanya
peran bank. Bank dapat berperan sebagai shahibul mal (penyedia dana)
yang menyalurkan pembiayaannya kepada mudharib (pengelola dana). Melalui
mudharib tersebut dana akan dikelola dengan melakukan kegiatan
perekonomian di sektor riel yang dapat menghasilkan tingkat pengembalian bunga
dengan memenuhi kualifikasi adanya kegiatan underlying assets.
Dalam kegiatan underlying asset tersebut
terjadi perputaran uang yang merata dan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara umum dikarenakan adanya perputaran barang dan ajsa yang
terjadi di sektor riel. Apabila perputaran barang dan uang di sektor riel
seimbang maka masyarakat juga dapat melakukan aktivitas perekonomian.
Akuntabilitas (pertanggungjawaban) seorang muslim
menjadi bagian yang sangat fundamental dalam praktik penyelenggaraan bisnis
secara islami. Berawal dari akuntabilitas seorang individu menjadi tonggak
sejarah menjadi social accounting yang dapat membentuk peradaban baik
itu peradaban islam maupun peradaban barat. Peradaban tersebut salah satu nya
berupa sistem akuntansi islam.
Kultul yang terbentuk pun beragam dimulai dari
penampilan, sikap, perilaku, kebiasaan, dan berakhir pada pola fikir seorang
akuntan. Seorang akuntan dituntut untuk memahami ilmu akuntansi secara
komprehensif namun dalam islam ada penambahan berupa hukum islam yang
menimbulkan paradigm baru dalam sistem perekonomian. Sebuah religiusitas
dikaitkan dengan sebuah sistem accounting, misalkan ada sebuah
penelitian yang menghubungkan antara religiusitas seseorang dengan adanya pengungkapan
disclosure laporan keuangan.
Seseorang yang melakukan ibadah dengan rajin maka
tingkat kepercayaan (trust) akan pengguna laporan keuangan juga dapat meningkat
seiring adanya pertimbangan religiusitas di dalam pelaporan keuangan. Sehingga
masyarakat dapat menggunakan laporan keuangan tersebut secara benar dan dapat
diperaya sebagai alat pengambilan keputusan. Berawal dari tingkat religiusitas
seorang individu maka masyarakat pun mau memahami akuntansi islam.
Prinsip unity of God dapat menjadikan sesuatu
dilakukan berdasarkan sesuai hukum shariah. Akuntabilitas seseorang dapat
dilihat melalui kinerja nya atau pertanggungjawaban atas tugas yang
diberikannya dengan penuh dedikasi dan integritas. Pemahan individu yang lebih
baik dalam hal hukum shariah dapat membentuk Islamic social accounting secara
lebih terarah ditinjau dari berbagai aspek.
Masyarakat yang sadar dan mampu mewujudkan sebuah
sistem akuntansi secara islami merupakan sebuah integritas dan akuntabilitas
yang penuh loyalitas. Pasalnya individu seperti requirement di atas merupakan
kunci utama dalam penyediaan sumber daya islami secara mandiri.
Referensi
David Solomons
(1978). Journal of Accountancy: The
Politization of Accounting. Vol. 146, No. 05.
Farook, S. 2007. On corporate social responsibility of
Islamic financial institutions. Islamic
Economic Studies, 15(1),
31-46.
Geerd Hofstede. 1993. Jurnal Akademy of management
Eksekutive: Cultural Constrains in Management theories. Vol. 7, No. 1.
Hamid, S., Craig, R., & Clarke, F. 1993. Religion: a
confounding cultural element in the international harmonization of accounting?. Abacus, 29(2), 131-148.
Hayashi, T. 1989. On
Islamic accounting: its future impact on Western accounting. Institute of
Middle Eastern Studies, International University of Japan.
Kamla, R. 2009. Critical insights into contemporary Islamic
accounting.Critical Perspectives on Accounting, 20(8), 921-932.
Kamla, R., Gallhofer, S., & Haslam, J. 2006. Islam,
nature and accounting: Islamic principles and the notion of accounting for the
environment. In Accounting
Forum (Vol. 30, No. 3, pp.
245-265). Elsevier.
Maali, B., Casson, P., & Napier, C. 2006. Social
reporting by Islamic banks.Abacus, 42(2),
266-289.
Nabil Baydoun
dan Roger Willeti. 2000. Journal Abacus: Islamic Corporate Report. Vol. 36, No.
1.
Othman, R., Thani, A. M., & Ghani, E. K. 2009.
Determinants of Islamic social reporting among top Shariah-approved companies
in Bursa Malaysia.Research Journal of International Studies, 12(10), 4-20.
T.E. Gambling
dan R.A.A. Karim. 1986. Jurnal of Business Finance and Accounting:
Umar Abdullah.
2000. Accounting Education: The appointment of qualification of muslim
accountants in the middle ages. pp. 329-242.
0 comments:
Posting Komentar