17 Apr 2016

Islam and Social Accounting Perspektif


Personality atau cara berfikir suatu unit yang tergabung dalam masyarakat sosial dan lebih spesifik memiliki kepercayaan (religiusitas) tertentu. Masyarakat memiliki cara berfikir dan kepercayaan yang dapat menjadikan sebuah identitas dalam pembentukan sebuah masyarakat. Berawal dari pembentukan pola fikir dan struktur masyarakat kemudian menjadi suatu kesatuan ekonomi dan mempengaruhi perekonomian yang berlaku dalam masyarakat (Gambling and Karim, 1986).
Ada beberapa religiusitas yang dapat mempengaruhi dalam pembentukan sebuah accounting theory. Budaya dan custom juga dapat mempengaruhi sebuah accounting (Hofstede, 1983; Gray, 1998). Religiusitas baik secara individu maupun kelompok akan membentuk masyarakat dengan cara pandang yang sama. Adanya politisasi dalam pembuatan accounting teori juga dimungkinkan karena adanya pihak-pihak yang ingin berperan dalam teori tersebut. Misalkan saja perusahaan minyak dan gas, ketika dalam proses pengeboran maka seluruh biaya yang telah dikeluarkan akan dikapitalisasi sebagai asset. Namun biaya tersebut dapat juga di expense kan semuanya. Dalam permasalahan ini terjadi conflict interest pada perusahaan minyak dan gas apabila meng-expensekan seluruh biaya perusahaan dimana laporan keuangan pada saat pencatatan expense maka pendapatannya menjadi nol karena belum menemukan minyak atau gas pada periode tersebut (Solomon, 1978).
Adanya kepentingan user dalam pembuatan accounting theory dapat mempengaruhi official accounting dalam hal ini pemerintah. Pemerintah kemudian dapat mempengaruhi masyarakat (konsep bottom down) dalam pembuatan sebuah accounting teori. Sebaliknya masyarakat dan pemerintah dalam orthodox model tidak mempengaruhi dalam pembentukan accounting teori. Berawal dari konsep yang sama yakni The God namun konsep akhir accounting teori yang dihasilkan menjadi berbeda dari hukum syariat masing-masing agama yang telah ada. Misalkan pelarangan riba, riba dilarang dalam semua agama, namun karena adanya faktor budaya dan perbedaan perspektif maka riba menjadi terpisah pada konsep akuntansi barat dimana religiusitas tidak memiliki hubungan dengan social culture.
Menurut Hayashi (1989), Islam merupakan sebuah religiusitas yang berintegrasi secara disipline dengan masyarakat sosial, politik, dan ekonomi dengan dasar hukum Allah (syari’ah). Apabila terjadi perbedaan pada budaya atau religiusitas maka dapat menimbulkan perbedaan sosial-ekonomi dan politik. Menurut Gambling dan Karim (1986) dan Hamid et al (1993), Islam berbeda dengan Occident (Negara barat) dan Islam memiliki sistem akuntansi tersendiri. Perbedaan tersebut mempengaruhi informasi yang akan disajikan dalam laporan keuangan dan memberikan gambaran mengenai adanya konsep Zakat, infaq and shodaqoh beside corporate social responsibility.
Dasar dalam penyusunan western accounting merupakan kegiatan manusia itu sendiri baik bisnis, financial, dan manajemen dimana hal teresebut bertolak belakang dengan Islamic accounting dengan konsep syari’ah. Adanya konsep sosial yang lebih dominan dalam akuntansi islam menjadi salah satu point utama dalam mewujudkannya kepada masyarakat yang berkulturkan religiusitas.
Berikut pemaparan perbedaan Islamic accounting dan Western financial accounting menurut Baydoun dan Willeti (2000):
 
Characteristic Western Accounting System           Islamic Corporate Report

Philosophy      Economic rationalism                          Unity of God

Principles         Secular                                                 religious
                        Individualistic                                     Communal
                        Profit maximization                            Reasonable profit
                        Survival of fittest                                Equity
                        Process                                             Environment
Criteria            Based upon modern commercial         Based upon ethical law originating
Law-permissive rather than ethical:    in the Qur’an:
 (Islamic law, As sunnah)
Limited disclosure                               full disclosure
Personal accountability                       public accountability

Personal disclosure atau penyajian informasi hanya disajikan (dikhususkan) untuk tujuan tertentu sedangkan dalam akuntansi islam tujuan pelaporan disajikan untuk masyarakat umum terutama pertanggungjawaban pada Allah (The God). Baydoun dan Willet (2000) menyampaian Islam sebagai bagian dari sebuah religiusitas sebagai individual yang memiliki kewajiban terhadap masyarakat dan bukan hak individu yang lebih dituntut dari masyarakat (individu to sociality).
Pembentukan sosial accounting dalam Islam dapat menggunakan beberapa model daam proses perumusan teori akuntansi yakni personal model, kolonial model, dan orthodox model. Personal model merupakan model yang paling baik dalam perumusan dan pembuatan accounting teori dalam akuntansi Islam disebabkan oleh adanya kesadaran dan pemahaman individu yang lebih baik terhadap kewajibannya terhadap masyarakat.
Sedangkan kolonial model merupakan contoh negara yang mengalami sebagai negara koloni (jajahan) dan kemudian menerapkan sistem akuntansi negara imperal. Namun model koloni tersebut juga dapat diterapkan karena adanya standarisasi laporan keuangan atau globalisasi informasi keuangan yang mengharuskan adanya penerapan sistem akuntansi yang sama antar negara atau user.

Individual responsibility merupakan faktor utama dalam pembentukan sebuah society. Berawal dari masyarakat maka dapat menimbulkan sebuah akuntabilitas terhadap kegiatan bisnis dan perdagangan (Kamla, 2009). Kesadaran dan akuntabilitas yang telah ada dalam masyarakat dapat menimbulkan sebuah sistem akuntansi yang dapat diterima oleh setiap masyarakat dan meluas. Meskipun berada di negara-negara jazirah arab yang terkenal dengan holistic dan religiusitas Islam, penyajian disclosure dana zakat masih belum semuanya dapat diimplementasikan (Maali et al, 2006: 282). Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun individu dan masyarakat telah mengenal Islam sebagai religiusitas namun dalam penerapan sistem ekonomi islam pun belum dapat sepenuhnya diimplementasikan secara maksimal.
Dalam Kolonial model dapat diibaratkan seperti pemaksaan sebuah sistem akuntansi dari Internasional standar memasuki sistem akuntansi domestik. Misalkan penerapan IFRS yang diharmonisasikan dengan PSAK aturan standar akuntansi di Indonesia. Kemudian penerapan dalam AAOIFI standard terhadap Islamic Bank di Sudan, Animal Bank dan Bank Sudan memang melaporkan adanya full disclosure namun pencapaian aturan disclosure hanya sedikit yang mengikuti standar AAOIFI (Maali et al, 2006: 285).
Pada masa post-kolonial di negara-negara Arab, akuntansi kolonial menjadi akuntansi sosial yang diterapkan melalui peraturan. Kemudian setelah diimplementasikan, nilai dan perhatian terletak pada cultural beliefs dan filosofi akan sebuah teori akuntansi yang dianggap lebih baik yaitu western accounting yang disesuaikan dengan transmultikultural. Social accounting merupakan penguasaan dan penyesuaian yang paling baik dalam mengembangkan alternative akuntansi secara praktek (Kania, 2007: 108).
Sistem akuntansi kolonial berawal dari adanya kolonisasi daerah tertentu baik berupa orangnya, budaya, politik, sistem administrasi dan bahkan sistem ekonominya.  Kolonialisasi yang telah melekat dalam masyarakt dapat mempengaruhi pembuatan accounting teori sehingga dapat dikatakan sebagai teori akuntansi model kolonial. Sedangkan dalam orthodox model, sistem akuntansi dapat berasal dari seseorang yang duduk di pemerintahan atau orang umum yang dipercaya oleh masyarakat.  Contoh negara yang mengimplikasikan orthodox model yakni negara Russia, dalam sistem perekonomiannya Russia dipegang oleh pemerintah namun dapat juga tokoh masyarakat dapat menggulingkan pemerintah dan sistem ekonomi dapat berubah. Accounting merupakan bagian dari masyarakat sosial yang tidak dapat terpisahkan. Berubahnya sistem akuntansi mengartikan mengenai berubahnya  sistem dan bahkan budaya sosial.
Dalam Islamic sosial terdapat beberapa element organisasi yang terdapat dalam masyarakat misalkan pemerintah, organisasi religiusitas, Bank syariah dan lembaga-lembaga lainnya. Setiap lembaga memiliki karakteristik tersendiri misalkan bank syariah maka sumber daya manusianya mayoritas memahami mengenai hukum islam secara ekonomi sedangkan pemerintah sumber daya manusianya lebih memahami mengenai hukum dassar islam dari segi politik. Syarat utama dalam pencapaian dasar sumber daya Islami yakni Islamic identity, manhood, citizenship, adulthold, equitability, eloquence, wisdom, knowledge of syariah, integrity, and competence (Abdullah, 2000). Dalam praktik secara global saat ini masyarakt belum dapat memenuhi persyaratan yang disebutkan di atas dikarenakan mash terbatasnya kualitas sumber daya islami yang memenuhi persyaratan tersebut. Berbagai kendala seperti terbatasnya tenaga pengajar yang dapat membentuk karakter sumber daya insani sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap masyarakt luas.
Dalam mewujudkan kualitas sumber daya insani di bidang ekonomi masih terasa masih memiliki banyak kendala disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya terbatasnya badan atau lembaga syariah di Indonesia yang dapat mengimplementasikan requirement tersebut. Budaya global yang semakin berkembang memunculkan peningkatan dalam berbagai unit bisnis syariah. Masyarakat mulai dapat menerima praktik kegiatan syariah secara meluas. Namun dalam hal kualitas individu berbasis islami masyarakat masih memiliki kendala mengenai latar belakang dan perspektif terhadap perekonomian global secara syariah.
Pada sistem akuntansi barat konsep knowledge of sharia atau konsep religiusitas tidak dipertimbangkan dalam seorang karyawan bekerja. Konsep yang dipertimbangkan berupa konsep umum (materialitas). Mengacu pada kondisi masyarakat yang beragam perspektif dan religiusitas maka dalam pengambilan konsepnya mengacu pada rasionalitas dan prinsip religiusitas tidak dimasukan dalam kriteria accounting requirement. Perbedaan religiusitas dapat menyebabkan perbedaan perspektif dalam pola seseorang bekerja.
Budaya lokal masyarakat juga dapat menimbulkan perbedaan sistem akuntansi. Akuntansi official tentu berbeda dengan akuntansi tribal yang hanya dipakai dalam kelompok tertentu saja. akuntansi official diimplementasikan dalam menghadapi sisitem akuntansi yang secara global misalkan IFRS standar yang diterapkan pada berbagai negara. Sedangkan akuntansi tribal dapat merupakan akuntansi belanda yang berkembang pada zaman kolonialisasi dan saat ini memunculkan akuntansi tribal baru yakni berupa PSAK yang dapat diharmonisasikan dengan budaya lokal Indonesia dan IFRS standar.
Dalam model orthodox, masyarakat dan pemerintah terpisah dalam hal merumuskan sebuah teori akuntansi. Namun dalam merumuskan teori tersebut ada seseorang yang dapat berasal dari pemerintah atau masyarakat yang dapat merumuskan teori akuntansi. Masyarakat lebih terbebas dalam menentukan perspektifnya dalam hal kebebasan berfikir. Struktur masyarakat beragam culture dan bahkan religiusitas tidak dipertimbangkan. Namun menjadi sebuah dilemma ketika terjadi mayoritas kelompok dalam struktur masyarakat tersebut sehingga menyebabkan privatisasi teori akuntansi.
Pembuatan standar teori akuntansi dilakukan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution). Dalam pembuatan standar pun masih terjadi problems adanya konflik interest diantara badan pembuat standard self regulation pihak eksternal pengguna standar. Pihak standar menginginkan standar yang dapat diimplementasikan secara umum kepada user sedangkan pengguna eksternal menginginkan adanya standar yang menguntungkan user eksternal saja.
Dalam implementasi islam tersendiri pun terhadap masyarakat luas yang berbeda religiusitas juga masih memiliki banyak kendala dimana Islam merupakan agama yang universal berlaku untuk semua masyarakat. Berbeda hal nya dengan agama Kristen dan Yahudi yang menganggap Islam sebagai agama tersendiri dan memiliki pandangan mengenai hukum Islam yang berbeda. Hukum Islam syari’ah umumnya sulit untuk diterima dalam masyarakat umum. Hukum Islam dipandang memiliki kekhasan tersendiri dalam penerapannya. Misalkan mengenai penerapan zakat yang penyalurannya hanya boleh diperuntukan kepada delapan asnaf. Sedangkan dalam masyarakat selain islam hal tersebut bisa diterima namun penyampaiannya menjadi pertanyaan tersendiri mengapa harus diperuntukan kepada delapan asnaf.
Dalam akuntansi barat juga ada mengenai dana sosial yang diperuntukan kepada masyarakat umum namun hal tersebut tidak sesuai dengan hukum islam. Sehingga dalam konteks ini terjadi perbedaan gap yang sangat mendasar dalam penerapan sistem accounting. Akuntansi islam yang baru beberapa dasawarsa berkembang menjadi kajian tersendiri dan bahkan peneliti-peneliti orang barat masih memiliki beberapa kekurangan berupa dasar teori dan penelitian yang masih terbatas.
Kegiatan perdagangan dan bisnis pada dasarnya sama akan tetapi terjadi beberapa perbedaan misalkan dalam hal time value of money. Time value of money system akuntansi barat berbeda dengan sistem akuntansi islam. Dalam akuntansi barat time value of money hanya berputar pada uang yang menumpuk di bank sedangkan time value of money yang diperbolehkan dalam Islam mengakui adanya underlying asset dalam proses perputaran uang yang menumpuk. Underlying asset dalam hal ini perputaran uang dapat dalam bentuk berupa kegiatan produksi, perdagangan maupun kegiatan jasa.
Dalam praktik underlying assets ada peran lembaga yang dapat berpartisipasi dalam praktik ekonomi islam yaitu adanya peran bank. Bank dapat berperan sebagai shahibul mal (penyedia dana) yang menyalurkan pembiayaannya kepada mudharib (pengelola dana). Melalui mudharib tersebut dana akan dikelola dengan melakukan kegiatan perekonomian di sektor riel yang dapat menghasilkan tingkat pengembalian bunga dengan memenuhi kualifikasi adanya kegiatan underlying assets.
Dalam kegiatan underlying asset tersebut terjadi perputaran uang yang merata dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum dikarenakan adanya perputaran barang dan ajsa yang terjadi di sektor riel. Apabila perputaran barang dan uang di sektor riel seimbang maka masyarakat juga dapat melakukan aktivitas perekonomian.
Akuntabilitas (pertanggungjawaban) seorang muslim menjadi bagian yang sangat fundamental dalam praktik penyelenggaraan bisnis secara islami. Berawal dari akuntabilitas seorang individu menjadi tonggak sejarah menjadi social accounting yang dapat membentuk peradaban baik itu peradaban islam maupun peradaban barat. Peradaban tersebut salah satu nya berupa sistem akuntansi islam.
Kultul yang terbentuk pun beragam dimulai dari penampilan, sikap, perilaku, kebiasaan, dan berakhir pada pola fikir seorang akuntan. Seorang akuntan dituntut untuk memahami ilmu akuntansi secara komprehensif namun dalam islam ada penambahan berupa hukum islam yang menimbulkan paradigm baru dalam sistem perekonomian. Sebuah religiusitas dikaitkan dengan sebuah sistem accounting, misalkan ada sebuah penelitian yang menghubungkan antara religiusitas seseorang dengan adanya pengungkapan disclosure laporan keuangan.
Seseorang yang melakukan ibadah dengan rajin maka tingkat kepercayaan (trust) akan pengguna laporan keuangan juga dapat meningkat seiring adanya pertimbangan religiusitas di dalam pelaporan keuangan. Sehingga masyarakat dapat menggunakan laporan keuangan tersebut secara benar dan dapat diperaya sebagai alat pengambilan keputusan. Berawal dari tingkat religiusitas seorang individu maka masyarakat pun mau memahami akuntansi islam.
Prinsip unity of God dapat menjadikan sesuatu dilakukan berdasarkan sesuai hukum shariah. Akuntabilitas seseorang dapat dilihat melalui kinerja nya atau pertanggungjawaban atas tugas yang diberikannya dengan penuh dedikasi dan integritas. Pemahan individu yang lebih baik dalam hal hukum shariah dapat membentuk Islamic social accounting secara lebih terarah ditinjau dari berbagai aspek.
Masyarakat yang sadar dan mampu mewujudkan sebuah sistem akuntansi secara islami merupakan sebuah integritas dan akuntabilitas yang penuh loyalitas. Pasalnya individu seperti requirement di atas merupakan kunci utama dalam penyediaan sumber daya islami secara mandiri.



Referensi
David Solomons (1978). Journal of Accountancy: The Politization of Accounting. Vol. 146, No. 05.
Farook, S. 2007. On corporate social responsibility of Islamic financial institutions. Islamic Economic Studies, 15(1), 31-46.
Geerd Hofstede. 1993. Jurnal Akademy of management Eksekutive: Cultural Constrains in Management theories. Vol. 7, No. 1.
Hamid, S., Craig, R., & Clarke, F. 1993. Religion: a confounding cultural element in the international harmonization of accounting?. Abacus, 29(2), 131-148.
Hayashi, T. 1989. On Islamic accounting: its future impact on Western accounting. Institute of Middle Eastern Studies, International University of Japan.
Kamla, R. 2009. Critical insights into contemporary Islamic accounting.Critical Perspectives on Accounting, 20(8), 921-932.
Kamla, R., Gallhofer, S., & Haslam, J. 2006. Islam, nature and accounting: Islamic principles and the notion of accounting for the environment. In Accounting Forum (Vol. 30, No. 3, pp. 245-265). Elsevier.
Maali, B., Casson, P., & Napier, C. 2006. Social reporting by Islamic banks.Abacus, 42(2), 266-289.
Nabil Baydoun dan Roger Willeti. 2000. Journal Abacus: Islamic Corporate Report. Vol. 36, No. 1. 
Othman, R., Thani, A. M., & Ghani, E. K. 2009. Determinants of Islamic social reporting among top Shariah-approved companies in Bursa Malaysia.Research Journal of International Studies, 12(10), 4-20.
T.E. Gambling dan R.A.A. Karim. 1986. Jurnal of Business Finance and Accounting:
Umar Abdullah. 2000. Accounting Education: The appointment of qualification of muslim accountants in the middle ages. pp. 329-242.



0 comments:

Posting Komentar