17 Apr 2016

Islam and Social Accounting Perspektif


Personality atau cara berfikir suatu unit yang tergabung dalam masyarakat sosial dan lebih spesifik memiliki kepercayaan (religiusitas) tertentu. Masyarakat memiliki cara berfikir dan kepercayaan yang dapat menjadikan sebuah identitas dalam pembentukan sebuah masyarakat. Berawal dari pembentukan pola fikir dan struktur masyarakat kemudian menjadi suatu kesatuan ekonomi dan mempengaruhi perekonomian yang berlaku dalam masyarakat (Gambling and Karim, 1986).
Ada beberapa religiusitas yang dapat mempengaruhi dalam pembentukan sebuah accounting theory. Budaya dan custom juga dapat mempengaruhi sebuah accounting (Hofstede, 1983; Gray, 1998). Religiusitas baik secara individu maupun kelompok akan membentuk masyarakat dengan cara pandang yang sama. Adanya politisasi dalam pembuatan accounting teori juga dimungkinkan karena adanya pihak-pihak yang ingin berperan dalam teori tersebut. Misalkan saja perusahaan minyak dan gas, ketika dalam proses pengeboran maka seluruh biaya yang telah dikeluarkan akan dikapitalisasi sebagai asset. Namun biaya tersebut dapat juga di expense kan semuanya. Dalam permasalahan ini terjadi conflict interest pada perusahaan minyak dan gas apabila meng-expensekan seluruh biaya perusahaan dimana laporan keuangan pada saat pencatatan expense maka pendapatannya menjadi nol karena belum menemukan minyak atau gas pada periode tersebut (Solomon, 1978).
Adanya kepentingan user dalam pembuatan accounting theory dapat mempengaruhi official accounting dalam hal ini pemerintah. Pemerintah kemudian dapat mempengaruhi masyarakat (konsep bottom down) dalam pembuatan sebuah accounting teori. Sebaliknya masyarakat dan pemerintah dalam orthodox model tidak mempengaruhi dalam pembentukan accounting teori. Berawal dari konsep yang sama yakni The God namun konsep akhir accounting teori yang dihasilkan menjadi berbeda dari hukum syariat masing-masing agama yang telah ada. Misalkan pelarangan riba, riba dilarang dalam semua agama, namun karena adanya faktor budaya dan perbedaan perspektif maka riba menjadi terpisah pada konsep akuntansi barat dimana religiusitas tidak memiliki hubungan dengan social culture.
Menurut Hayashi (1989), Islam merupakan sebuah religiusitas yang berintegrasi secara disipline dengan masyarakat sosial, politik, dan ekonomi dengan dasar hukum Allah (syari’ah). Apabila terjadi perbedaan pada budaya atau religiusitas maka dapat menimbulkan perbedaan sosial-ekonomi dan politik. Menurut Gambling dan Karim (1986) dan Hamid et al (1993), Islam berbeda dengan Occident (Negara barat) dan Islam memiliki sistem akuntansi tersendiri. Perbedaan tersebut mempengaruhi informasi yang akan disajikan dalam laporan keuangan dan memberikan gambaran mengenai adanya konsep Zakat, infaq and shodaqoh beside corporate social responsibility.
Dasar dalam penyusunan western accounting merupakan kegiatan manusia itu sendiri baik bisnis, financial, dan manajemen dimana hal teresebut bertolak belakang dengan Islamic accounting dengan konsep syari’ah. Adanya konsep sosial yang lebih dominan dalam akuntansi islam menjadi salah satu point utama dalam mewujudkannya kepada masyarakat yang berkulturkan religiusitas.
Berikut pemaparan perbedaan Islamic accounting dan Western financial accounting menurut Baydoun dan Willeti (2000):
 
Characteristic Western Accounting System           Islamic Corporate Report

Philosophy      Economic rationalism                          Unity of God

Principles         Secular                                                 religious
                        Individualistic                                     Communal
                        Profit maximization                            Reasonable profit
                        Survival of fittest                                Equity
                        Process                                             Environment
Criteria            Based upon modern commercial         Based upon ethical law originating
Law-permissive rather than ethical:    in the Qur’an:
 (Islamic law, As sunnah)
Limited disclosure                               full disclosure
Personal accountability                       public accountability

Personal disclosure atau penyajian informasi hanya disajikan (dikhususkan) untuk tujuan tertentu sedangkan dalam akuntansi islam tujuan pelaporan disajikan untuk masyarakat umum terutama pertanggungjawaban pada Allah (The God). Baydoun dan Willet (2000) menyampaian Islam sebagai bagian dari sebuah religiusitas sebagai individual yang memiliki kewajiban terhadap masyarakat dan bukan hak individu yang lebih dituntut dari masyarakat (individu to sociality).
Pembentukan sosial accounting dalam Islam dapat menggunakan beberapa model daam proses perumusan teori akuntansi yakni personal model, kolonial model, dan orthodox model. Personal model merupakan model yang paling baik dalam perumusan dan pembuatan accounting teori dalam akuntansi Islam disebabkan oleh adanya kesadaran dan pemahaman individu yang lebih baik terhadap kewajibannya terhadap masyarakat.
Sedangkan kolonial model merupakan contoh negara yang mengalami sebagai negara koloni (jajahan) dan kemudian menerapkan sistem akuntansi negara imperal. Namun model koloni tersebut juga dapat diterapkan karena adanya standarisasi laporan keuangan atau globalisasi informasi keuangan yang mengharuskan adanya penerapan sistem akuntansi yang sama antar negara atau user.

Individual responsibility merupakan faktor utama dalam pembentukan sebuah society. Berawal dari masyarakat maka dapat menimbulkan sebuah akuntabilitas terhadap kegiatan bisnis dan perdagangan (Kamla, 2009). Kesadaran dan akuntabilitas yang telah ada dalam masyarakat dapat menimbulkan sebuah sistem akuntansi yang dapat diterima oleh setiap masyarakat dan meluas. Meskipun berada di negara-negara jazirah arab yang terkenal dengan holistic dan religiusitas Islam, penyajian disclosure dana zakat masih belum semuanya dapat diimplementasikan (Maali et al, 2006: 282). Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun individu dan masyarakat telah mengenal Islam sebagai religiusitas namun dalam penerapan sistem ekonomi islam pun belum dapat sepenuhnya diimplementasikan secara maksimal.
Dalam Kolonial model dapat diibaratkan seperti pemaksaan sebuah sistem akuntansi dari Internasional standar memasuki sistem akuntansi domestik. Misalkan penerapan IFRS yang diharmonisasikan dengan PSAK aturan standar akuntansi di Indonesia. Kemudian penerapan dalam AAOIFI standard terhadap Islamic Bank di Sudan, Animal Bank dan Bank Sudan memang melaporkan adanya full disclosure namun pencapaian aturan disclosure hanya sedikit yang mengikuti standar AAOIFI (Maali et al, 2006: 285).
Pada masa post-kolonial di negara-negara Arab, akuntansi kolonial menjadi akuntansi sosial yang diterapkan melalui peraturan. Kemudian setelah diimplementasikan, nilai dan perhatian terletak pada cultural beliefs dan filosofi akan sebuah teori akuntansi yang dianggap lebih baik yaitu western accounting yang disesuaikan dengan transmultikultural. Social accounting merupakan penguasaan dan penyesuaian yang paling baik dalam mengembangkan alternative akuntansi secara praktek (Kania, 2007: 108).
Sistem akuntansi kolonial berawal dari adanya kolonisasi daerah tertentu baik berupa orangnya, budaya, politik, sistem administrasi dan bahkan sistem ekonominya.  Kolonialisasi yang telah melekat dalam masyarakt dapat mempengaruhi pembuatan accounting teori sehingga dapat dikatakan sebagai teori akuntansi model kolonial. Sedangkan dalam orthodox model, sistem akuntansi dapat berasal dari seseorang yang duduk di pemerintahan atau orang umum yang dipercaya oleh masyarakat.  Contoh negara yang mengimplikasikan orthodox model yakni negara Russia, dalam sistem perekonomiannya Russia dipegang oleh pemerintah namun dapat juga tokoh masyarakat dapat menggulingkan pemerintah dan sistem ekonomi dapat berubah. Accounting merupakan bagian dari masyarakat sosial yang tidak dapat terpisahkan. Berubahnya sistem akuntansi mengartikan mengenai berubahnya  sistem dan bahkan budaya sosial.
Dalam Islamic sosial terdapat beberapa element organisasi yang terdapat dalam masyarakat misalkan pemerintah, organisasi religiusitas, Bank syariah dan lembaga-lembaga lainnya. Setiap lembaga memiliki karakteristik tersendiri misalkan bank syariah maka sumber daya manusianya mayoritas memahami mengenai hukum islam secara ekonomi sedangkan pemerintah sumber daya manusianya lebih memahami mengenai hukum dassar islam dari segi politik. Syarat utama dalam pencapaian dasar sumber daya Islami yakni Islamic identity, manhood, citizenship, adulthold, equitability, eloquence, wisdom, knowledge of syariah, integrity, and competence (Abdullah, 2000). Dalam praktik secara global saat ini masyarakt belum dapat memenuhi persyaratan yang disebutkan di atas dikarenakan mash terbatasnya kualitas sumber daya islami yang memenuhi persyaratan tersebut. Berbagai kendala seperti terbatasnya tenaga pengajar yang dapat membentuk karakter sumber daya insani sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap masyarakt luas.
Dalam mewujudkan kualitas sumber daya insani di bidang ekonomi masih terasa masih memiliki banyak kendala disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya terbatasnya badan atau lembaga syariah di Indonesia yang dapat mengimplementasikan requirement tersebut. Budaya global yang semakin berkembang memunculkan peningkatan dalam berbagai unit bisnis syariah. Masyarakat mulai dapat menerima praktik kegiatan syariah secara meluas. Namun dalam hal kualitas individu berbasis islami masyarakat masih memiliki kendala mengenai latar belakang dan perspektif terhadap perekonomian global secara syariah.
Pada sistem akuntansi barat konsep knowledge of sharia atau konsep religiusitas tidak dipertimbangkan dalam seorang karyawan bekerja. Konsep yang dipertimbangkan berupa konsep umum (materialitas). Mengacu pada kondisi masyarakat yang beragam perspektif dan religiusitas maka dalam pengambilan konsepnya mengacu pada rasionalitas dan prinsip religiusitas tidak dimasukan dalam kriteria accounting requirement. Perbedaan religiusitas dapat menyebabkan perbedaan perspektif dalam pola seseorang bekerja.
Budaya lokal masyarakat juga dapat menimbulkan perbedaan sistem akuntansi. Akuntansi official tentu berbeda dengan akuntansi tribal yang hanya dipakai dalam kelompok tertentu saja. akuntansi official diimplementasikan dalam menghadapi sisitem akuntansi yang secara global misalkan IFRS standar yang diterapkan pada berbagai negara. Sedangkan akuntansi tribal dapat merupakan akuntansi belanda yang berkembang pada zaman kolonialisasi dan saat ini memunculkan akuntansi tribal baru yakni berupa PSAK yang dapat diharmonisasikan dengan budaya lokal Indonesia dan IFRS standar.
Dalam model orthodox, masyarakat dan pemerintah terpisah dalam hal merumuskan sebuah teori akuntansi. Namun dalam merumuskan teori tersebut ada seseorang yang dapat berasal dari pemerintah atau masyarakat yang dapat merumuskan teori akuntansi. Masyarakat lebih terbebas dalam menentukan perspektifnya dalam hal kebebasan berfikir. Struktur masyarakat beragam culture dan bahkan religiusitas tidak dipertimbangkan. Namun menjadi sebuah dilemma ketika terjadi mayoritas kelompok dalam struktur masyarakat tersebut sehingga menyebabkan privatisasi teori akuntansi.
Pembuatan standar teori akuntansi dilakukan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution). Dalam pembuatan standar pun masih terjadi problems adanya konflik interest diantara badan pembuat standard self regulation pihak eksternal pengguna standar. Pihak standar menginginkan standar yang dapat diimplementasikan secara umum kepada user sedangkan pengguna eksternal menginginkan adanya standar yang menguntungkan user eksternal saja.
Dalam implementasi islam tersendiri pun terhadap masyarakat luas yang berbeda religiusitas juga masih memiliki banyak kendala dimana Islam merupakan agama yang universal berlaku untuk semua masyarakat. Berbeda hal nya dengan agama Kristen dan Yahudi yang menganggap Islam sebagai agama tersendiri dan memiliki pandangan mengenai hukum Islam yang berbeda. Hukum Islam syari’ah umumnya sulit untuk diterima dalam masyarakat umum. Hukum Islam dipandang memiliki kekhasan tersendiri dalam penerapannya. Misalkan mengenai penerapan zakat yang penyalurannya hanya boleh diperuntukan kepada delapan asnaf. Sedangkan dalam masyarakat selain islam hal tersebut bisa diterima namun penyampaiannya menjadi pertanyaan tersendiri mengapa harus diperuntukan kepada delapan asnaf.
Dalam akuntansi barat juga ada mengenai dana sosial yang diperuntukan kepada masyarakat umum namun hal tersebut tidak sesuai dengan hukum islam. Sehingga dalam konteks ini terjadi perbedaan gap yang sangat mendasar dalam penerapan sistem accounting. Akuntansi islam yang baru beberapa dasawarsa berkembang menjadi kajian tersendiri dan bahkan peneliti-peneliti orang barat masih memiliki beberapa kekurangan berupa dasar teori dan penelitian yang masih terbatas.
Kegiatan perdagangan dan bisnis pada dasarnya sama akan tetapi terjadi beberapa perbedaan misalkan dalam hal time value of money. Time value of money system akuntansi barat berbeda dengan sistem akuntansi islam. Dalam akuntansi barat time value of money hanya berputar pada uang yang menumpuk di bank sedangkan time value of money yang diperbolehkan dalam Islam mengakui adanya underlying asset dalam proses perputaran uang yang menumpuk. Underlying asset dalam hal ini perputaran uang dapat dalam bentuk berupa kegiatan produksi, perdagangan maupun kegiatan jasa.
Dalam praktik underlying assets ada peran lembaga yang dapat berpartisipasi dalam praktik ekonomi islam yaitu adanya peran bank. Bank dapat berperan sebagai shahibul mal (penyedia dana) yang menyalurkan pembiayaannya kepada mudharib (pengelola dana). Melalui mudharib tersebut dana akan dikelola dengan melakukan kegiatan perekonomian di sektor riel yang dapat menghasilkan tingkat pengembalian bunga dengan memenuhi kualifikasi adanya kegiatan underlying assets.
Dalam kegiatan underlying asset tersebut terjadi perputaran uang yang merata dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum dikarenakan adanya perputaran barang dan ajsa yang terjadi di sektor riel. Apabila perputaran barang dan uang di sektor riel seimbang maka masyarakat juga dapat melakukan aktivitas perekonomian.
Akuntabilitas (pertanggungjawaban) seorang muslim menjadi bagian yang sangat fundamental dalam praktik penyelenggaraan bisnis secara islami. Berawal dari akuntabilitas seorang individu menjadi tonggak sejarah menjadi social accounting yang dapat membentuk peradaban baik itu peradaban islam maupun peradaban barat. Peradaban tersebut salah satu nya berupa sistem akuntansi islam.
Kultul yang terbentuk pun beragam dimulai dari penampilan, sikap, perilaku, kebiasaan, dan berakhir pada pola fikir seorang akuntan. Seorang akuntan dituntut untuk memahami ilmu akuntansi secara komprehensif namun dalam islam ada penambahan berupa hukum islam yang menimbulkan paradigm baru dalam sistem perekonomian. Sebuah religiusitas dikaitkan dengan sebuah sistem accounting, misalkan ada sebuah penelitian yang menghubungkan antara religiusitas seseorang dengan adanya pengungkapan disclosure laporan keuangan.
Seseorang yang melakukan ibadah dengan rajin maka tingkat kepercayaan (trust) akan pengguna laporan keuangan juga dapat meningkat seiring adanya pertimbangan religiusitas di dalam pelaporan keuangan. Sehingga masyarakat dapat menggunakan laporan keuangan tersebut secara benar dan dapat diperaya sebagai alat pengambilan keputusan. Berawal dari tingkat religiusitas seorang individu maka masyarakat pun mau memahami akuntansi islam.
Prinsip unity of God dapat menjadikan sesuatu dilakukan berdasarkan sesuai hukum shariah. Akuntabilitas seseorang dapat dilihat melalui kinerja nya atau pertanggungjawaban atas tugas yang diberikannya dengan penuh dedikasi dan integritas. Pemahan individu yang lebih baik dalam hal hukum shariah dapat membentuk Islamic social accounting secara lebih terarah ditinjau dari berbagai aspek.
Masyarakat yang sadar dan mampu mewujudkan sebuah sistem akuntansi secara islami merupakan sebuah integritas dan akuntabilitas yang penuh loyalitas. Pasalnya individu seperti requirement di atas merupakan kunci utama dalam penyediaan sumber daya islami secara mandiri.



Referensi
David Solomons (1978). Journal of Accountancy: The Politization of Accounting. Vol. 146, No. 05.
Farook, S. 2007. On corporate social responsibility of Islamic financial institutions. Islamic Economic Studies, 15(1), 31-46.
Geerd Hofstede. 1993. Jurnal Akademy of management Eksekutive: Cultural Constrains in Management theories. Vol. 7, No. 1.
Hamid, S., Craig, R., & Clarke, F. 1993. Religion: a confounding cultural element in the international harmonization of accounting?. Abacus, 29(2), 131-148.
Hayashi, T. 1989. On Islamic accounting: its future impact on Western accounting. Institute of Middle Eastern Studies, International University of Japan.
Kamla, R. 2009. Critical insights into contemporary Islamic accounting.Critical Perspectives on Accounting, 20(8), 921-932.
Kamla, R., Gallhofer, S., & Haslam, J. 2006. Islam, nature and accounting: Islamic principles and the notion of accounting for the environment. In Accounting Forum (Vol. 30, No. 3, pp. 245-265). Elsevier.
Maali, B., Casson, P., & Napier, C. 2006. Social reporting by Islamic banks.Abacus, 42(2), 266-289.
Nabil Baydoun dan Roger Willeti. 2000. Journal Abacus: Islamic Corporate Report. Vol. 36, No. 1. 
Othman, R., Thani, A. M., & Ghani, E. K. 2009. Determinants of Islamic social reporting among top Shariah-approved companies in Bursa Malaysia.Research Journal of International Studies, 12(10), 4-20.
T.E. Gambling dan R.A.A. Karim. 1986. Jurnal of Business Finance and Accounting:
Umar Abdullah. 2000. Accounting Education: The appointment of qualification of muslim accountants in the middle ages. pp. 329-242.



Konsep Biological Asset-Peternakan di Indonesia


Beberapa daerah di Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi peternakan berskala nasional. Potensi ini belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga masyarakat belum menyadari perlunya mengembangkan usaha mikro ini dengan skala nasional atau skala global. Subsidi keuangan telah banyak diberikan namun usaha tersebut hanya bertahan selama satu tahun. Konsep management tools pada sektor agriculture masih belum menunjukkan adanya restrukturisasi perbaikan berkelanjutan. Mengacu konsep IFRS (International Financial Reporting Standard) tentang Biological Assets mengenai kerugian atau keuntungan pada pelaporan keuangan peternak sapi perah memberikan perubahan berdasarkan konsep fair value
Peternak sapi perah selama ini mengalami kesulitan tentang bagaimana melakukan pelaporan laporan keuangan ketika digabungan dengan hasil pemerasan Susu. IAS (International Accounting Standar) 41 menjelaskan mengenai pelaporan produktivitas peternak sapi perah dengan konsep fair value, namun konsep tersebut masih belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Masyarakat Indonesia dengan kekayaan hutan yang melimpah dan memiliki daerah subur berpotensi untuk dilakukan pengembangan produksi peternakan sapi perah sebagai salah satu komoditas ekspor. Pengembangan produktivitas peternak sapi perah terbilang masih sulit. Dalam pengelolaan produksi, masyarakat masih menggunakan teknologi pemerahan hasil secara tradisional. Secara geografis, beberapa wilayah Indonesia diuntungkan dengan beberapa daerah dataran tinggi bersuhu dingin yang mendukung dikembangkannya produksi peternakan sapi perah skala nasional. Dalam mengelola produktivitas, masyarakat mengalami kesulitan baik pengalaman, perawatan, dan pengetahuan peternak yang mencakup aspek reproduksi, pemberian pakan, pengelolaan hasil pasca panen, pemerahan, sanitasi dan pencegahan penyakit serta pembukuan usaha. Di samping hal itu, pengetahuan petani mengenai aspek pengelolaan keuangan harus ditingkatkan sehingga keuntungan yang diperoleh sebanding dengan pemeliharaannya (Argiles dan Slof, 2001).
Perkembangan Pengelolaan Sapi Perah
Sebelum adanya kebijakan dan bantuan pengadaan sapi dara (sapi yang siap beranak) dan pakan konsentrat dari Dinas Peternakan Kabupaten xxx, peternak memperoleh kualitas sapi sebatas jenis sapi lokal dan pengadaan konsentrat sering mengalami kesulitan. Jika diperhitungkan secara maksimal, peternak hanya memanen hasil sedikit dari pemeliharaan sapi perah melalui penjualan susu setiap harinya. Menurut Firman (2003) budidaya sapi perah memerlukan penanganan dan perawatan secara intensif. Di Indonesia perawatan dan pengembangan produksi sapi perah keluarga masih dilaksanakan secara tradisional.
Peningkatan populasi jumlah sapi impor masih sulit dilakukan oleh karena masyarakat terkendala perolehan bibit berkualitas hingga biaya impor dan transportasi dari pelabuhan menuju sentra lokasi pembibitan. Jarak kelahiran sapi antara anak satu dengan lainnya juga cukup lama. Hal ini terkadang menyebabkan peternak menjual sapinya saat sapi mengandung disebabkan kekurangan biaya hidup. Faktor ekonomi menjadi penentu keberhasilan usaha ini, jika kebutuhan keluarga sudah tidak dapat tercukupi maka peternak sering menjual ternaknya (Balitbang, 2000).
Kenyataan bahwa produktivitas sapi perah yang dipelihara masih rendah disebabkan rendahnya mutu genetik (bibit) sapi perahan yang bersifat lokal dan kualitas pakan yang diberikan tidak mencukupi. Perbaikan kualitas budidaya bibit sapi dapat ditingkatkan melalui pembinaan dan penyuluhan secara intensif. Namun penyediaan stok bibit yang baik masih terus ditingkatkan dengan persilangan sapi perah lokal dan sapi perah dari negara lain.
Kualitas pakan mulai ditingkatkan melalui tambahan asupan konsentrat pakan ternak yakni bekatul, brand, gandum kasar, dan polar. Saat ini peternak mengalami kekurangan hijauan pakan ternak baik pada musim kemarau maupun musim penghujan akibat beralihnya fungsi lahan hijau menjadi pemukiman/pariwisata. Kontinuitas pakan hijau diperlukan untuk mempertahankan kualitas produktivitas susu. Peternak mengalami kesulitan meningkatkan kepemilikan sapi karena peternak tidak sanggup mencari sumber pakan hijau lebih banyak. Selain itu, terkadang pakan hijau juga harus didatangkan dari daerah lain saat musim kemarau. Pakan ternak yang didatangkan dari daerah lain memerlukan biaya transport yang tinggi sehingga biaya produksi bertambah yang menyebabkan berkurangnya pendapatan peternak.
 Peternak memberikan pakan hijau sekali sehari dan sisanya dengan memberikan asupan tambahan seperti singkong cacah, ampas tahu dan konsentrat polar, brand, atau bekatul. Menanggulangi permasalahan ini beberapa peternak telah mengusungkan program kepada Dinas Peternakan setempat untuk dibuatkan pabrik mini konsentrat lokal agar mengurangi biaya pakan peternak sapi perah. Tetapi realisasi program ini masih sulit dan belum dapat dilakukan karena terkenda biaya dan teknologi pembuatannya.
Kegiatan good farming practices dapat mempengaruhi produktivitas dan kualitas susu segar yang dihasilkan peternak. Manajemen pemeliharaan, tata cara perkawinan, pemberian pakan, penanganan kesehatan induk dan penanganan susu segar masih sulit dilakukan oleh peternak dengan skala pemeliharaan 2-3 sapi perah. Akibanya sentra peternakan susu sapi perah kurang berkembang dengan rendahnya kuantitas dan kualitas susu segar yang diperah. Harga yang ditetapkan koperasi berdasarkan kualitas susu yang dijual oleh peternak. Apabila kualitas bagus dan memenuhi standar kriteria pengujian maka harga bisa mencapai Rp.5.900,- per liter dan harga terendah berkisar Rp. 4.500,- (data 2015). Harga susu bersifat fluktuatif dan tidak menentu yang dipengaruhi oleh tingkat pemeliharaan dan produktivitas sapi perah.
Pemeliharaan utama adalah pemberian pakan yang cukup dan berkualitas serta menjaga kebersihan kandang dan kesehatan ternak yang dipelihara. Bentuk kandang semi tradisional biasanya air seni dan kotoran ditampung dalam tank pengolahan yang selanjutnya diproses menjadi biogas. Jika menggunakan perkandangan modern maka mulai dari alas hingga kondisi kandang terjaga dengan baik hingga pengolahan limbah menjadi biogas dan pupuk kandang.
Penilaian Biological Asset
Diberlakukannya akuntansi Agricultural (Tabel 1.1) oleh IASB melalui IAS 41 telah merubah akuntansi domestik menjadi akuntansi global (Mates and Grosu, 2008); (Lefter dan Roman, 2007). IAS 41 menjelaskan mengenai konsep biological assets tentang bagaimana mengukur kegiatan agronomi secara fair value saat pencatatan dan pelaporan transaksi kegiatan (Reed and Clarke, 1998). Pencatatan laba atau rugi berkaitan dengan hasil panen dikurangi biaya produktivitas hingga biaya penjualan periode pasca panen. Kesulitan menilai fair value telah dirasakan oleh berbagai pihak. Belum adanya standar yang dapat menetapkan penilaian suatu harga menyebabkan konsep ini masih memerlukan perhatian yang lebih (Herbohn, 2006); (Bohusova, 2012).
Menurut Kieso et al. (2011) Pencatatan asset biologis termasuk asset non lancar yang mencakup binatang atau tumbuhan hidup seperti domba, sapi, pohon berbuah, atau tanaman kapas. Pengukuran produk pasca pemanenan yakni biaya penjualan dikurangi Net Reliazable Value dan saat pemanenan NRV menjadi biaya produksi sesungguhnya. Sedangkan menurut IFRS unrealized gain or loss dimasukan ke dalam akun pendapatan atau biaya lain-lain. Berikut perhitungan biological assets untuk sapi perah menurut Kieso et al dengan studi kasus peternak sapi perah di salah satu kecamatan di Indonesia (Tabel 1.2). 

Tabel 1.1 Produk pertanian dan perhutanan (IAS 41.4) menurut Lefter dan Roman (2007)
Biological Assets
Produk pertanian
Produk hasil panen
Domba
Wool
Benang; karpet
Tanaman pohon
Kayu; Kapas; rotan
Kayu; Benang; pakaian
Sapi perah
Susu
Keju; yogurt
Tanaman semak
Daun
The; tembakau
Tanaman Anggur
Anggur
Wine
Pohon buah
Buah
Berbagai olahan buah
Tabel 1.2 Perhitungan Biological Assets menurut Kieso et.al

Milking Cows
       Carrying value, January 2015
       Change in fair value due to growth and price changes
       Decrease in fair value due to harvest
             Change in carrying value
Carrying value, January 2015
Milk harvested during January 2015


 350.000
(120.000)

15.000.000

   

 230.000
                  +
15.230.000
150.000
Sumber: Data diolah

Penentuan nilai wajar aset biologis oleh peternak berdasarkan usia atau kualitas ternak yang menghasilkan produksi susu atau sapi dara yang belum siap perah berdasarkan umur dan deskripsi asset. Metode judgement diperlukan untuk mementukan harga jual sementara biaya produksi dihitung berdasarkan cost realization value. Keuntungan atau kerugian periode berjalan dihitung dari perubahan nilai wajar atau kenaikan asset serta susu yang dihasilkan dan dijual.
Peternakan 
Sapi (Bos Taurus) adalah binatang dalam keluarga hewan bovinae yang biasa dipanggil lembu atau kerbau. Masyarakat memelihara sapi untuk diambil dagingnya sebagai makanan sehari-hari dan diambil susunya (diperah) sebagai konsumsi minuman tambahan yang kaya sumber gizi dan protein. Disamping itu, sapi juga dapat dijadikan alat pembajak sawah dan alat transportasi. Para peternak sering menggunakan sapi sebagai alat penggerak untuk membajak sawah yang meringankan petani.
Asal usul sapi diperkirakan berasal dari Asia Tengah, kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia hingga ke Indonesia. Jenis sapi banyak tersebar di berbagai belahan dunia sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Jenis sapi perah yang banyak dikembangkan di Indonesia yakni sapi peranakan Friesian Holstein yakni sapi hasil persilangan sapi peranakan ongole (sapi lokal) dengan sapi Fries Holland (sapi asal Belanda). Ciri fisik yang dominan adalah sapi memiliki bulu rambut berwarna belang hitam putih. Kemampuan berproduksi susu sapi peranakan Fries Holland di Indonesia rata-rata 10 lt/hari. Produksi tersebut masih termasuk rendah bila dibandingkan dengan produksi susu rata-rata di negara-negara maju. Produksi susu yang rendah disebabkan pemberian asupan makanan yang belum tepat takar dan berat sapi juga mempengaruhi jumlah produksi susu. Semakin besar dan mahal harga sapi Brenggolo (dalam istilah jawa) maka jumlah susu yang dihasilkan semakin meningkat.
Berbagai kendala dan kondisi terkait peternakan keluarga sapi perah Indonesia yang terlihat melalui ketidakmampuan bersaing dari sisi harga, kualitas, dan produksi susu impor. Dampak yang ditimbulkan pada kondisi tersebut yakni kehancuran peternakan sapi perah di Indonesia atau tetap exist di tengah persaingan global. Kehancuran peternakan sapi perah dapat terjadi bila tidak ada kerjasama dan peran serta masyarakat, peternak, dan pemerintah sebagaimana mestinya. Namun dapat pula peternakan sapi perah tetap bersaing secara sinergis memperbaiki kualitas dan kuantitas susu domestik dalam menghadapi tantangan global dan kompetisi perdagangan yang semakin ketat.
Ekonomi Kreatif
Usaha peternakan sapi perah keluarga memberikan keuntungan jika jumlah sapi yang dipelihara minimal sebanyak 6 ekor (Balitbang, 2014). Namun, kondisi efisiens peternak di Kecamatan xxx dan Kecamatan xxx hanya dapat dicapai 2-6 ekor dengan minimal pengusahaannya sebanyak 2 ekor dengan rata-rata produksi susu sebanyak 15-20 lt/hari. Upaya peningkatan pendapatan melalui pembudidayaan sapi perah tersebut dapat dilakukan melalui diversifikasi usaha baik secara kooperatif dan integratif (horizontal dan vertikal) dengan peternak lainnya atau tergabung dalam suatu komunitas peternak sapi perah.
Peternak sapi perah selama ini belum berorientasi ekonomi dan memperhatikan kualitas susu. Rendahnya tingkat produktivitas menjadi kendala utama. Pengalaman berternak mempunyai andil dalam menentukan keberlangsungan usaha peternakan. Peternak susu yang tekun dalam bekerja biasanya memperoleh hasil perahan susu yang lebih banyak dibandingkan dengan peternak susu yang kurang rajin. Peternak susu dengan sama-sama jumlah ternaknya 2 sapi dapat menghasilkan perahan susu sapi yang berbeda. Peternak yang kurang rajin maksimal memerah susu 5-7 lt/hari setiap sekali pemerahan sedangkan peternak yang rajin bisa menghasilkan susu 7-10 lt/hari. Hasil perahan susu dipengaruhi beberapa faktor yaitu kualitas bibit sapi dan pemeliharaan sapi. Bibit sapi yang unggul menghasilkan sapi dengan ukuran yang besar dan pemeliharaan sapi dilakukan secara maksimal dengan pemberian pakan ternak berupa rumput hijau dan konsentrat bekatul, brand, atau polar. Pemberian asupan makanan tambahan tersebut dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas susu sapi sehingga orientasi ekonomi peternak dapat tercapai.
Pengembangan perekonomian melalui sektor peternakan dapat memunculkan kreativitas baru setelah ditemukan permasalahan mengenai produktivitas susu baik ditinjau dari segi proses pengolahan, distribusi, dan manajemen penjualan. Hal tersebut merupakan bagian permasalahan masyarakat menengah ke bawah sehingga pressure untuk menyesuaikan perubahan akibat diberlakukannya perdagangan bebas. Tekanan serta kondisi demikian masyarakat mampu melakukan berbagai inovasi dan pengembangan hasil panen susu. Pengembangan tersebut antara lain susu diolah menjadi dodol susu, keripik susu, yogurt dan keju berbasis home industry. Berbagai olahan tersebut masih belum maksimal dan diharapkan inovasi pengolahan hasil susu terus dilakukan sehingga dapat menambah khasanah kuliner Indonesia.
KESIMPULAN
Penerapan konsep biological assets dengan fair value memberikan implikasi perhitungan laba atau rugi terhadap laporan keuangan harian maupun bulanan peternak sapi perah dan tentunya juga berimbas kepada peningkatan kualitas dan efisiensi manajemen tools peternak sapi perah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka konsep biological assets dinilai dapat memberikan hasil yang optimal apabila dibandingkan dengan historical value. Namun perlu diperhatikan pula bahwa hingga saat ini, Indonesia belum merealisasikan konsep ini dalam sektor agriculture. Oleh karenanya, apabila konsep biological assets ini diterapkan, maka perlu diperhatikan mekanisme penilaian dan pemahaman secara wajar, reliable dan understandability.
DAFTAR PUSTAKA
Argiles, J. M., & Slof, E. J. (2001). European Accounting Review: New opportunities for farm ccounting, 10 (2), 361-383.
Budidaya Sapi Perah. (____). Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Dwi Nugroho P, Peoni. (2012). Penerapan Akuntansi Biologis IAS 41 di Indonesia: Prospek dan Hambatan. Salatiga: FEB-UKSW.
E. Martindah dan R.A. Saptati. (___) . Semiloka Nasional prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. The Role and Effort of Dairy Farming Cooperation to Increase Milk Quality in West Java. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Firman, Achmad. 2007. Manajemen Agribisnis Sapi Perah: Suatu Telaah Pustaka. Bandung: Universitas Padjajaran.
Herbohn, K., & Herbohn, J. (2006). International Accounting Standard (IAS) 41: what are the implications for reporting forest assets? Small-scale Forest Economics, Management and Policy, Vol. 5(2), pp. 175-189.
D.E. Kieso, Jerry J. Weygandt, and Paul D. Kimmel. 2011. Intermediate Accounting Volume 1 IFRS Edition. US: John Wiley and Sons.
Lefter, V., & Roman, A. G. (2007). IAS 41 Agriculture: Fair value accounting.Theoretical and applied Economics, Vol. 5(510), pp. 15-22.
Maruli, S., & Mita, A. F. (____). Analisis Pendekatan Nilai Wajar dan Nilai Historis Dalam Penilaian Aset Biologis Pada Perusahaan Agrikultur: Tinjauan Kritis Rencana Adopsi IAS 41.
Mates, D., & Grosu, V. (2008). Lucrari Stiintifice, seria Agronomie: Evaluating and recognizing biological assets and agricultural activities according to IAS 41. Vol. (51), pp. 457-462.
Miftah Farid dan Heny Sukesi. 2011. Buletin Ilmiah: Pengembangan Susu Segar Dalam Negeri untuk Pemenuhan Kebutuhan Susu Nasional. Vol. 5 No. 2, Desember 2011.
Nagel, P. Julius F. (2013). Peluang Dan Tantangan Ukm Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015. Sustainable Competitive Advantage (SCA) 3.1.
Nono Rusono, Anwar Suanri, Ade Candradijaya, Ali Muharam, Ifan Martino, Tejaningsih, Prayogo Utomo Hadi, Hery Susilowati, dan Muhammad Maulana. 2013. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan dan Pertanian 2015-2019. Jakarta: Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas.
Ruth Dameria Haloho, Siswanto Imam Santoso, dan Sudiyono Marzuki. (2013). Jurnal Pengembangan Humaniora: Analisis Profitabilitas pada Usaha Peternakan Sapi perah di Kabupaten Semarang. Vol.13. No. 1, April.
Syukriah, Ana, and Imam Hamdani. (2013). Economics Development Analysis Journal: Peningkatan Eksistensi UMKM Melalui Comparative Advantage dalam Rangka Menghadapi Mea 2015 di Temanggung. Vol 2. No. 2, April.


Adopsi IFRS dalam Akuntansi Syariah di Indonesia

Adopsi IFRS dalam Akuntansi Syariah di Indonesia

Akuntansi syariah adalah alat pertanggungjawaban, yang diwakili informasi akuntansi syariah dalam bentuk laporan keuangan yang sesuai dengan syariah yaitu mematuhi prinsip full disclousure. Dimana laporan keuangan akuntansi syariah tidak lagi berorientasi pada maksimasi laba, akan tetapi membawa pesan modal dalam menerapkan perilaku etis dan adil terhadap semua pihak. Menurut Gaffikin dan Triyuwono (1996) akuntansi adalah refleksi dari sebuah realitas yang idealnya dibangun dan dipraktikan berdasarkan nilai-nilai dan etika. Nilai-nilai dan etika orang Muslim adalah syariah, maka alternatif terbaik pengembangan akuntansi syariah
adalah  menggunakan  pemikiran  yang  sesuai  dengan  syariah.  Untuk  memahami pengertian akuntansi  syariah,  dapat  mengacu  pada  definisi  akuntansi  syariah  yang  dikemukakan  oleh Hameed  (2003)  yaitu:  Berangkat dari definisi-definisi akuntansi tersebut di atas, akuntansi
syariah dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai berikut: “Akuntansi syariah adalah suatu proses, metode, dan teknik pencatatan, penggolongan, pengikhtisaran transaksi, dan kejadian-kejadian yang bersifat keuangan dalam bentuk satuan uang, guna mengidentifikasi, mengukur, menyampaikan  informasi  suatu  entitas  ekonomi  yang  pengelolaan  usahanya  berlandaskan syariah, untuk dapat digunakan sebagai bahan mengambil keputusan-keputusan ekonomi dan memilih alternative-alternatif tindakan bagi para pemakainya”. Perkembangan akuntansi sebagai salah satu cabang ilmu sosial telah mengalami pergeseran nilai yang sangat mendasar dituntut mengikuti perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kam (1990:3) mengemukakan bahwa selama ini yang digunakan sebagai dasar konstruksi teori akuntansi lahir dari konteks budaya dan idiologi. Dari paparan di atas menunjukkan bahwa system akuntansi syariah merupakan sistem alternative  yang  tepat  bagi  kaum  muslimin  di  Indonesia,  namun  demikian  di  dalam implementasinya masih banyak terdapat kalangan yang berpendapat pro dan kontra terhadap implementasi system akuntansi di Indonesia, dengan demikian dapat dirumuskan permasalahan yang terdapat dalam jurnal ini adalah “Mengapa terjadi Pro dan Kontra pada sistem akuntansi berbasis Syariah di Indonesia?
Permasalahan Penerapan Sistem Akuntansi Syariah di Indonesia
Kehadiran  ekonomi  Islam  ini  merupakan  suatu  langkah  yang  digunakan  untuk melepaskan diri dari jeratan kapitalisme dan sosialisme, menurut (Damayanti,2007). Dua sumber utama konsep ekonomi syariah berporos pada Al Qur’an dan Al Hadist. Ironisnya, kedua hukum Islam tersebut tidak pernah benar-benar digunakan sebagai landasan dalam merumuskan konsep epistemologis ekonomi Islam itu sendiri melainkan fiqh yang  “sekedar” rasionalisasi kreatif ulama  yang  dijadikan  sebagai  acuan  utamanya.  Oleh karenanya, ekonomi Islam  banyak mengadopsi begitu saja teori-teori yang ada dalam ekonomi konvensional dengan melakukan penyesuaian atau dipaksakan dengan melakukan sedikit penyesuaian atau dipaksakan agar sesuai dengan ayat atau hadis tertentu. Jika memang ada ayat atau hadis yang dijadikan sebagai suatu landasan  syariah  bagi  suatu  model  transaksi  ekonomi  syariah,  pengaturan  yang  berbasis
sistematis dan kritis yang memenuhi prinsip-prinsip interpretasi yang valid tidak dilakukan terlebih dahulu. Dampak nyatanya adalah, bahwa penerapan ekonomi yang disebut syariah merupakan suatu kumpulan teori ekonomi konvensional yang disajikan seolah-olah berdalil al-Qur’an dan as-Sunnah. 
Faktanya,  aspek-aspek  akuntansi  konvensional  tidak  dapat  diterapkan  pada  lembaga  yang menggunakan  prinsip-prinsip  Islam  baik  dari  implikasi  akuntansi  maupun  akibat  ekonomi, menurut Muhammad (2004). Dalam pendapatnya Gambling dan Karim (1991 dalam IAI, 2008)
juga berargumen bahwa dalam perspektif Islam konsep income ekonomi tidak bias diterapkan karena hal-hal yang tak bisa diterima itu begitu fundamental bagi teori deduktif  Barat.  Apabila  diambil  suatu  contoh  seperti model  tingkat  ekonomi  pengembalian  modal (economic rate of return on capital) yang membentuk basis bagi kalkulasi pendapatan di muka
dengan asumsi bahwa uang punya nilai waktu (Time value for money), diutarakan oleh Gambling dan Karim (1986) dalam pendapatnya sebagai hal yang sangat tidak diperkenankan dalam agama Islam baik dengan alasan apapun. Mengacu pada pendapat ini, bagian dari teori akunting deduktif
banyak terpengaruh pada teori ekonomi konvensional sangatlah tidak patut diterapkan sebagai landasan pemikiran untuk menciptakan teori landasan akuntansi Syariah menurut Islam. Adanya penerapkan pendekatan yang mengkomparasikan sasaran-sasaran yang ada dalam akuntansi
kontemporer dan akuntansi syariah, apabila tidak sejalan tinggalkan tertuang dalam Majalah Akuntan Indonesia (2008) menurut AAOIFI (Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial). Lembaga ini berpendapat bahwa cara itu konsisten dengan prinsip-prinsip Islam lebih
luas bahwa suatu pandangan tak selalu memerlukan konsep yang mesti diambil dari Syariah. Dengan demikian, konsep informasi akuntansi berguna, seperti relevansi dan reliabilitas, bisa begitu saja dimasukkan dalam praktek akuntansi Islami oleh AAOIFI. Alternatif pendekatan
yang dilakukan AAOIFI ini mungkin bisa digunakan sebagai kunci dalam menghadapi masalah yang  terjadi  dalam  penerapan  Akuntansi  Syariah  di  Indonesia,  namun  fakta  yang  terjadi sangatlah kompleks permasalahan yang terjadi untuk dapat menyatukan dua hal yang berbeda dengan kerangka konseptual dan landasan yang bertentangan. Untuk itu, dalam menghadapi permasalahan  ini  perlu  dibuatnya  standar  akuntansi  yang  berbeda  untuk  akuntansi  syariah berbasis Islam. Belum juga masalah ini terselesaikan, akuntansi syariah juga dihadapkan dengan  permasalahan  kompleks  seputar  konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) pada standar akuntansi Indonesia.
PEMBAHASAN
Terkait adanya adopsi IFRS, beberapa hal yang mencakup isu-isu standarisasi antara lain: AOSG (2010) telah merinci isu-isu penting terkait dalam kaitannya dengan konvergensi IFRS,   isu-isu penting tersebut dikelompokkan berdasarkan empat cakupan topik yaitu substansi mengungguli bentuk, ukuran probabilitas, time value of money, isu-isu yang lain. Isu-isu penting tersebut akan dipaparkan berdasarkan cakupan pengertiannya, seperti yang ada di bawah ini.
 (1) Substansi Mengungguli Bentuk merupakan suatu prinsip akuntansi yang disajikan secara wajar dalam suatu transaksi atau peristiwa lain sehingga memerlukan pencatatan agar dapat disajikan sesuai dengan substansi dan realita ekonomi. Isu yang muncul kemudian adalah ketika pembuat standar konvensional menganggap substansi mengungguli bentuk terpisahkan dengan pelaporan keuangan, ada keraguan tentang penerimaan dari perspektif Islam. Beberapa percaya bahwa substansi mengungguli bentuk akan membuat suatu transaksi keuangan syariah hampir tidak bisa dibedakan dan dibandingkan dengan akuntansi konvensional.
 (2) Ukuran Probabilitas (Probability Criterion)
 “Konsep probabilitas digunakan untuk  merujuk  pada  tingkat  ketidakpastian bahwa manfaat ekonomi masa depan berhubungan dengan item tersebut akan mengalir ke atau dari entitas.”    (Ayat 4, 40). IFRS mengakui biaya-biaya tertentu ketika kemungkinan bahwa manfaat ekonomi  masa depan  dapat  dipastikan.  Misalnya, mengarahkan penurunan nilai (impairment) diakui ketika penurunan tersebut diharapkan terjadi. Masalah yang muncul di sini adalah apakah ada larangan syariah terhadap pengakuan aset-aset kewajiban, pendapatan, dan biaya didasarkan pada ketika kemungkinan tersebut terjadi?
 (3) Time Value of Money
 Konsep time value of money telah diklaim oleh  sebagian  besar  ahli  Islam  sebagai  suatu  yang  diharamkan  karena  adanya  unsur  riba didalamnya. Konsep time value of money merupakan kembangan dari teori-teori bunga yang ada (theory of interest), dari berbagai panadangan para ekonomi kapitalis sepanjang masa. Dalam classical  theory of interest tokoh  yang sangat  terkenal  adalah Smith  dan Ricardo, mereka berpendapat bahwa bunga merupakan kompensasi yang dibayarkan oleh peminjam (borrower) kepada si pemberi pinjaman (lender) sebagai balas jasa atas keuntungan yang diperoleh dari uang yang dipinjamkan. Konsep nilai waktu uang banyak digunakan oleh IASB, salah satunya adalah,   penerapan pada IAS 39, adanya biaya amortisasi pada aktiva tertentu dan kewajiban tertentu. “Pinjaman dan piutang … harus diukur dengan biaya diamortisasi dengan menggunakan metode efektif bunga.” (IAS 39, Par. 46 dalam PWC, 2011). Permasalahan yang terjadi adalah apakah seharusnya kita mencerminkan nilai waktu dari uang dalam pelaporan transaksi keuangan syariah, apabila tidak ada bunga yang jelas untuk dibebankan atau dikeluarkan dalam transaksi tersebut?. Pertanyaan ini untuk beberapa orang memiliki dampak yang tidak menyenangkan karena pengaturan ini dibuat untuk menghindari pengisian bunga akan mengakibatkan pelaporan pendapatan pembiayaan dengan sengaja (AOSSG, 2010). Misalnya yang terjadi pada kontrak penjualan tangguhan. Sebuah kontrak penjualan di mana pembayaran ditangguhkan untuk jangka waktu tertentu. Berdasarkan IAS 18 (dalam AOSSG, 2010) jika nilai wajar aktiva yang ditransfer kurang  dari  kas  yang  akan  diterima,  maka  perbedaan  tersebut  dicatat  sebagai  pendapatan pembiayaan. Namun dalam akuntansi syariah justru mengabaikan pendekatan nilai waktu uang sehingga jumlah seluruh kas yang diterima atau tidak diterima akan dicatat sebagai pendapatan penjualan. Selain itu, kelebihan kas yang diterima atas nilai wajar akan dipertimbangkan untuk ditransfer dan akan dicatat sebagai pendapatan penjualan, bukan pembiayaan pendapatan. 
(4) Isu-isu yang lain. Berikut isu-isu lain yang juga dirinci oleh AOSSG dalam research paper-nya di tahun 2010. Syirkah, menurut bahasa, adalah ikhthilath (berbaur). Adaupun menurut istilah syirkah (kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh kesadaran  untuk  meraih  keuntungan.  Masalah  yang  sering  dipertanyakan,  dalam  transaksi Syirkah  adalah  apakah  jumlah  yang  diterima  atau  dipegang  oleh  suatu  badan  di  bawah pengaturan Syirkah harus mewakili kepentingan kepemilikan di entitas itu. Adanya IFRS  9 menimbulkan suatu diskusi tentang apakah aset keuangan berdasarkan Syirkah akan diukur pada biaya diamortisasi atau nilai wajar. Ayat 4.2 menyatakan bahwa sebuah aset keuangan harus diukur pada biaya diamortisasi jika kedua kondisi terpenuhi yaitu aset tersebut diadakan dalam model bisnis yang bertujuan untuk memegang aset dalam rangka untuk mengumpulkan arus kas
kontraktual dan istilah kontrak dari aset keuangan menimbulkan pada tanggal tertentu untuk arus
kas yang semata-mata pembayaran pokok dan bunga atas nilai pokok yang beredar. Sebuah aset keuangan harus diukur pada nilai wajar kecuali diukur pada biaya diamortisasi jika kedua kondisi  terpenuhi  yaitu  asset  tersebut  diadakan  dalam  model  bisnis  yang  bertujuan  untuk memegang asset dalam rangka untuk mengumpulkan arus kas kontraktual dan istilah kontrak dari  asset  keuangan  menimbulkan  pada  tanggal  tertentu  untuk  arus  kas  yang semata-mata pembayaran pokok dan bunga atas nilai pokok yang beredar hal ini sesuai dengan ayat 4.2. Pengaturan Syirkah diberikan kewenangan sepenuhnya kepada investor terkait profit yang ada pada suatu perusahaan. Sehingga, aset-aset ini mungkin perlu diukur pada nilai wajar karena arus kas mungkin tidak mewakili ‘semata-mata pembayaran pokok dan bunga. Akan tetapi, dalam peraturan Syirkah telah ditetapkan suatu indikasi yang merujuk pada investor terkait peraturan pengembalian, tingkat pengembalian aktual yang dibayarkan kepada investor akan hampir selalu erat sesuai dengan tingkat indikasi ini, mencakup keuntungan yang dihasilkan oleh investee. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan untuk mengukur aktiva dengan biaya diamortisasi karena arus kas dapat dikatakan mirip ‘pembayaran pokok dan bunga’, dan sesuai dengan ayat 10 (b) (ii) FRS 108 dibutuhkan refleksi dari substansi ekonomi dan bukan hanya bentuk hukum.
 (i) Special Purpose Entity (SPE) adalah suatu entitas yang dibentuk oleh perusahaan untuk suatu tujuan tertentu, misalnya untuk membagi atau menghilangkan resiko finansial.
 (ii) Sukuk Penilaian memiliki definisi sertifikat yang bernilai sama dengan bagian atau seluruh dari kepemilikan harta yang berwujud untuk mendapatkan hasil dan jasa didalam kepemilikan asset dan proyek tertentu atau aktivitas investasi khusus, sertifikat ini berlaku setelah menerima nilai sukuk, saat jatuh tempo dengan menerima dana sepenuhnya sesuai dengan tujuan sukuk tersebut. Perdagangan sukuk mendapat suatu kontra baik karena sifat mereka (seperti  Bank  Sentral, Bahrain  sukuk  al-salam), karena kebanyakan produk  syariah khususnya sukuk bersifat “debt-based” atau “debt-likely”. Padahal idealnya keuangan syariah adalah “profit-loss sharing”, ini terlihat dari komposisi tingkat kupon sukuk yang dibayarkan masih  mendasarkan pada  tingkat  suku  bunga  tertentu.  Sehingga tidak  mengherankan jika AAOIFI memberikan penilaian bahwa sekitar 85% sukuk belum sesuai dengan syariah.   Biaya yang   diamortisasi telah diterapkan oleh sukuk yang terlebih dahulu, sejauh ini sesuai dengan peraturan IAS  39, di mana sukuk tidak diperdagangkan mungkin bisa dikategorikan sebagai ‘pinjaman dan piutang’ baik atau sebagai ‘dimiliki hingga jatuh tempo investasi ‘, dan diukur setelah pengakuan awal pada biaya diamortisasi. Kenyataannya, IFRS 9 sendiri   mengabaikan manajemen untuk instrumen individu, dan bukannya berfokus pada model bisnis suatu entitas untuk mengelola aset keuangan. Aset finansial untuk kemudian diukur pada biaya diamortisasi jika aset tersebut diadakan dalam model bisnis yang bertujuan untuk memegang aset dalam rangka  untuk  mengumpulkan  arus  kas  kontraktual  dan  istilah  kontrak  dari  aset  keuangan menimbulkan pada tanggal tertentu untuk arus kas yang semata-mata pembayaran pokok dan bunga atas nilai pokok yang beredar,hal ini terdapat pada ayat  4.2 IFRS  9. 
(iii) Derivatif Tertanam,  merupakan  salah  satu  karakteristik  sifat  perbankan  yang  merupakan  spekulasi (untung-untungan) terhadap perubahan nilai pasar. Transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai sarana mencari atau memberikan informasi tentang harga barang komoditi tertentu di kemudian hari (price  discovery).  Pernyataan  ini  menyebabkan  keputusan  syariah  bahwa  harga  harus diketahui  pada  saat  kontrak  untuk  menghilangkan  gharar  atau  ketidakpastian;  yang sering
diartikan bahwa harga harus ditinjau ulang (diperbaiki). Dampaknya adalah, bahwa lembaga keuangan Islam menghadapi risiko ketimpangan pendanaan saat pemberian jangka panjang suku bunga tetap pembiayaan didanai oleh deposito jangka pendek variabel tingkat. Pelanggan yang
sebelumnya menyesuaikan untuk tingkat yang lebih tinggi akan dirugikan pada saat harga pasar jatuh.  Oleh  karena  itu  dalam  meningkatkan  manajemen  likuiditas  dan  mengatasi  keluhan pelanggan,  pembiayaan  tingkat  variabel  telah  dikembangkan  berdasarkan  beberapa  konsep-
konsep Islam. Beberapa orang berkomentar bahwa tingkat keuntungan ini akan tutup pada variabel- yang menilai struktur mungkin derivatif tertanam karena adanya pengaruh di bawah IAS  39, ayat  10  (dan IFRS  9 ayat  4.6) yang mengatakan bahwa sebuah derivatif tertanam menyebabkan beberapa atau semua dari arus kas yang seharusnya dapat diperlukan oleh kontrak untuk dimodifikasi sesuai dengan tingkat bunga tertentu, instrumen keuangan harga, harga komoditas, nilai tukar asing, indeks harga atau tarif, rating kredit atau kredit indeks, atau variabel lain.  IAS 39  selanjutnya  membutuhkan  bahwa  derivatif  tertanam  dipisahkan  dari  kontrak utamanya jika memenuhi kriteria dalam paragraf  11-13. IFRS  9 ayat  4.7 tidak memerlukan derivatif tertanam untuk dipisahkan dari dalam lingkup standar, adalah mungkin bahwa mungkin ada  kontrak    Islam  di  luar  lingkup  IFRS  misalnya,  dalam  beberapa  kontrak  berdasarkan kemitraan seperti beberapa bentuk musharakah berkurang. Berdasarkan ayat 4,8 IFRS 9, entitas perlu untuk menerapkan IAS 39 paragraf 11-13.

KESIMPULAN
Prinsip dasar  paradigma  yaitu mencakup keseluruhan dimensi wilayah mikro dan makro dalam kehidupan manusia yang saling terkait. Pertama dimensi mikro prinsip dasar paradigm syariah adalah individu yang beriman kepada Allah SWT (tauhid) serta mentaati segala aturan dan larangan yang tertuang dalam Al-Qur’an, Al Hadits, Fiqh, dan hasil itjihad. Kedua, dimensi makro prinsip syariah adalah meliputi wilayah politik, ekonomi dan sosial. Dalam dimensi politik, menjunjung tinggi musyawarah dan kerjasama. Sedangkan dalam dimensi ekonomi, melakukan usaha halal, mematuhi larangan bunga, dan memenuhi kewajiban zakat. Selanjutnya dalam dimensi sosial yaitu mengutamakan kepentingan umum dan amanah. Ikatan Akuntan Indonesia pun sejauh ini telah menerbitkan enam standar terkait dengan Akuntansi Syariah, yaitu PSAK 101 (penyajian dan pengungkapan laporan keuangan entitas syariah), PSAK 102  (murabahah), PSAK  103 (salam), PSAK 104 (istishna), PSAK 105 (mudharabah), dan PSAK 106 (musyarakah). Namun, adanya standar-standar Akuntansi Syariah masih belum juga dapat membuat pihak-pihak yang berkepentingan merasa cukup terselesaikan permasalahannya.  Banyak  kebimbangan  dan ketakutan  yang  masih  membayangi  pengngaplikasian  akuntansi  syariah  berbasis  Islam  ini. Belum juga masalah ini terselesaikan, akuntansi syariah juga dihadapkan dengan permasalahan kompleks seputar adopsi International Financial Reporting Standards (IFRS) pada standar akuntansi Indonesia.
IFRS yang merupakan standar internasional yang mengacu pada akuntansi konvensional nampaknya ada beberapa bagian yang tidak cocok dengan prinsip akuntansi syariah ini. Akuntansi syariah adalah ilmu dan teknologi universal yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya, baik sosial, ekonomi, politik, peraturan  perundangan,  kultur,  persepsi  dan  nilai (masyarakat)  tempat  akuntansi  syariah diterapkan. Akuntansi syariah adalah akuntansi yang dikembangkan bukan hanya dengan cara “tambal  sulam”  terhadap  akuntansi  konvensional,  akan  tetapi,  merupakan  pengembangan filosofis terhadap nilai-nilai al-Qur’an yang diturunkan ke dalam pemikiran teoritis dan teknis akuntansi. Berdasarkan hasil tersebut maka bisa dikatakan bahwa konvergensi IFRS terhadap standar akuntansi syariah yang dilakukan di Indonesia tidak bisa sempurna seratus persen. AAOIFI  dalam  formulasinya  menyatakan  bahwa  ketika  IFRS  tidak  bisa  diadopsi  secara keseluruhan oleh IFI, ketika IASB tidak memiliki IFRS untuk menutupi praktek perbankan syariah dan praktek keuangan syariah, dan ketika IFRS dapat diadopsi maka AAOIFI tidak akan mengembangkan standar atau berkembang dan mengadopsi IFRS. Menurut Khairul Nizam, direktur  pengembangan  teknis  di  AAOIFI  (dalam  Ibrahim, 2009)  bahwa  kesenjangan  dan perbedaan akan terus ada di antara set kedua standar, karena kesenjangan dan perbedaan adalah hasil alami dari struktural tujuan yang berbeda dari IASB dan AAOIFI. IAI sendiri dalam
hal ini juga mengacu pada AAOIFI dalam menanggapi permasalahan konvergensi IFRS ini. IFRS yang ada tidak bisa dipaksakan untuk akuntansi syariah yang memiliki prinsip yang berbeda.


DAFTAR PUSTAKA

AOSSG, 2010, Research Paper:  ‘Financial Reporting Issues Relating to Islamic Financing’. http://www.aossg.org [Diakses 4 November 2014].

Baydoun dan Willet, 2000. ‘Islamic Corporate Report’.Abacus Vol.36.No.1.

Chapra, Umer. 2001. The Future of Economics: An Islamic Perspective. SEBI. Jakarta.

Gambling, TE dan Karim Rifaat AA, 1986, Journal of Business Accounting, Vol.13 (1)

Ibrahim, Mohamed Shanul Hameed. 2009. IFRS vs AAOIFI: ‘The Clash of Standards?’,Karya Ilmiah tidak dipublikasikan. Munich Personal RePEc Archive (MPRA) Paper No.12539.

Ikatan Akuntansi Indonesia. 2006. Exposure Draft Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah. IAI. Jakarta.

Isu-isu Standarisasi  dalam  Akuntansi  Syariah  Terkait  Konvergensi  International  Financial Reporting Standards (IFRS) di Indonesia melalui: http://www.nenygory.htm.[ diakses 5 November 2014]
Muhammad. 2004. Teori Penilaian dalam Akuntansi Syari’ah. IQTISAD Journal of Islamic Economics Vol.3, No.1.

Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2009. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

Razik, Amged Abd El. 2007. Challenges of International Financial Reporting Standards (IFRS) in the Islamic Acounting  World,  Case  of  Middle  Eastern  Countries.  Scientific  Bulletin Economic Sciences.  Vol. 8 (14).

Zaid, Omar Abdullah. 2004. Akuntansi Syariah: Kerangka Dasar dan Sejarah Keuangan Dalam Masyarakat Islam (terj. Syafe’I Antonio dan Harahap), LPFE: Jakarta.